Penulis: Andre Vincent Wenas
Istilah binatang politik (zoon politikon) itu sudah sering kita dengar, ada di setiap buku pengantar ilmu politik atau buku pengantar filsafat.
Zoon Politikon, Aristoteles mengajar, itu menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang bermasyarakat.
Padanan dari kata ‘Zoon’ dalam bahasa kita adalah: hewan alias binatang. Sedangkan ‘Politikon’ artinya bermasyarakat. Maka harafiahnya berbunyi hewan yang bermasyarakat. Intinya, kodrat manusia itu hidup bermasyarakat, maka pasti dan mesti ia berinteraksi dan berelasi satu sama lain. Bersosialisasi, berpolitik.
Mahbub Djunaidi, seorang legendaris di bidang jurnalistik, kolomnis serta juga seorang politisi, meringkas Zoon Politikon (Hewan Sosial) ini dengan gaya humor khas beliau. Dalam kolomnya ia bercerita begini:
“Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu khan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia” (Mahbub Djunaidi, ‘Kolom Demi Kolom, Humor-Humor Bernas Sang Maestro’, IRCiSoD, 2018).
Bepolitik itu jadinya ya hidup bermasyarakat itu sendiri. Peduli serta aktif dalam partisipasi politik. Apa itu partisipasi politik? Yaitu urusan kemasyarakatan, urusan publik, peduli lingkungan, ngomel ke tetangga lantaran banjir tahunan yang tidak diberesin pemda misalnya, lalu bikin surat pembaca ke media. Ikut nyoblos di pemilu, kepoin caleg serta parpolnya. Ikut nanya ke tante di sebelah rumah soal siapa pengganti Jokowi nanti? Kenapa mesti dia? Kenapa bukan yang itu?
Peduli juga atau peduli banget dengan kesusahan emak-emak di komplek gegara migor langka dan mahal, lalu tanya kenapa kok bisa langka dan mahal? Siapa yang bikin gara-garanya? Ayo dong KPK atau Kejaksaan atau Kepolisian, tangkepin biang keroknya! Apa perlu geng emak-emak komplek ini ikut demo masak pakai pasir di depan kantor kalian? Hah!
Pendeknya jadi peduli dengan segala tetekbengek yang “di luar” urusan rumah tangga (oikos-nomos, ekonomi) yang sejatinya ada di ranah privat.
Di sini kita hanya mau menekankan lagi (dan lagi), bahwa sesungguhnyalah kita sebagai manusia tak bisa lepas dari politik (urusan publik, sosial kemasyarakatan). Maka oleh karena itulah, jangan pernah coba-coba mengaku-ngaku diri benci politik atau alergi politik. Itu namanya menyangkal eksistensi, keberadaannya sendiri. Alergi atau benci dengan diri sendiri? …ih sakit!
Atau kalau masih nekad juga, ingatlah peristiwa di kebun binatang tadi, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu khan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia”
Mau lihat kandang binatang yang mana dulu?
21/05/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF, Jakarta.