SintesaNews.com – Sidang perkara tindak pidana korupsi (tipikor) Dadan Setiadi Megantara yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 19 Desember 2024, menghadirkan saksi mahkota Mono Igfirly. Dalam kesaksiannya yang terungkap di muka sidang, Mono mengakui angka dalam laporan final yang diserahkan kepada Panitia Pembebasan Tanah (P2T) tercatat senilai Rp 329.718.300.000,-. Laporan tersebut diserahkan dalam 5 rangkap, tidak ada koreksi atau komplain dari pihak terkait.
“Laporan tersebut aman-aman saja tidak komplain atau koreksi, atau sanksi dari P2T, artinya nilai Rp. 329.718.300.000,- itu sah”, ungkap Mono.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Panji Surono, Mono Igfirly, yakni pejabat dari KJPP, memberitahukan bagaimana proses manipulasi terjadi. Ia mengaku diminta penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumedang, Roy Andika, untuk membuat simulasi nilai ganti rugi terhadap 9 bidang tanah.
“Penyidik bilang paling besar ganti rugi Rp. 120.000.000.000,-, tapi saya bilang itu tidak mungkin, minimal Rp. 190.000.000.000,-”, ujar Mono. Ia mengakui simulasi tersebut bukan penilaian resmi melainkan hasil diskusi dengan penyidik.
Ketika ditanya penasihat hukum Dadan Setiadi Megantara, Zainal RF Tampubolon, “Apakah saksi akan mencabut pernyataan soal perhitungan ganti rugi yang ternyata hanya simulasi yang dimasukan ke dalam BAP?”
“Betul”, jawab Mono.
Dari pengakuan tersebut, Zainal menyatakan simulasi tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan nilai ganti rugi.
“Simulasi itu tidak bisa dijadikan dasar hukum”, tegasnya.
Pengungkapan fakta baru ini menguatkan dugaaan adanya manipulasi perhitungan ganti rugi tanah dari Rp. 329.718.300.000,-. Menjadi Rp. 190.000.000.000,-, yang berasal dari keinginan penyidik. Terlepas dari fakta-fakta baru yang terungkap dalam persidangan tanggal 19 Desember 2024 tersebut, ada banyak misinformasi yang perlu diberitahukan kepada masyarakat NKRI. Bahwa perkara tindak pidana korupsi ini agak lain (unik).
Persidangan tipikor yang menyasar Dadan Setiadi Megantara ini berasal adanya dugaan tipikor yang disangkakan kepada Dadan Setiadi Megantara, Cs., dalam rangka pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional Tol Cisumdawu. Padahal sebelumnya, Dadan Setiadi Megantara telah berperkara dengan ahli waris Antijah Binti Moetakin yakni Udju, Cs. dalam perkara No. 32/Pdt.G/2021/PN. Smd Jo. No. 340/PDT/2022/PT BDG jo. No. 2660 K/Pdt/2023 yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT).
Dalam putusan BHT Udju, Cs. dinyatakan sebagai pemilik yang sah dan telah diserahkan cek kontan uang ganti rugi sebesar Rp. 329.718.300.000,-. kepada Udju, jadi Dadan Setiadi Megantara tidak menerima apapun dari uang ganti rugi tersebut.
Pencairan uang ganti rugi kepada Udju, Cs. menjadi terhambat karena JPU berusaha mengaitkan uang ganti rugi tersebut dengan tuduhan tipikor Dadan Setiadi Megantara, padahal Udju, Cs. telah diterbitkan Penetapan Pencairan Konsinyasi No. 22/Pdt.P-Kons/2020/PN Smd sampai dengan No. 30/Pdt.P-Kons/2020/PN Smd. Tanggal 05 Juni 2024 dan telah diserahkan cek tunai pada 1 Juli 2024, sementara itu perkada tipikor baru dinaikan ke muka persidangan pada bulan Agustus 2024. Udju, Cs. dizholimi oleh surat-surat JPU kepada BTN yang pada prinsipnya tidak pernah memblokir ataupun menyita uang ganti rugi sebesar Rp. 329.718.300.000,-. yang masih tersimpan dalam rekening RPL Pengadilan Negeri Sumedang di Bank BTN Cabang Sumedang.
Berulang kali JPU memaksakan kehendak, sejatinya pada tahap penyelidikan dan penyidikan, JPU melakukan sita, namun hal tersebut tidak dapat dikabulkan Pengadilan Negeri Sumedang, karena bukan milik Dadan Setiadi Megantara, melainkan milik Udju, hingga akhirnya naik sidang tipikor Pengadilan Negeri Bandung, uang ganti rugi Rp. 329.718.300.000,-. Tidak dalam keadaan diblokir ataupun disita, dan bukanlah menjadi barang bukti.
Dalam proses persidangan, JPU tetap mohon penyitaan melalui surat tanggal 05 November 2024 kepada Pengadilan Negeri Bandung, dan mohon pemblokiran cek pada tanggal 14 November 2024, namun tidak dikabulkan hakim, karena tidak memenuhi syarat, objek yang akan disita adalah milik Udju, Cs. bukan milik Dadan Setiadi Megantara, dan uang tersebut masih dalam rekening RPL Pengadilan Negeri Sumedang di Bank BTN Cabang Sumedang.
Terakhir, JPU melakukan upaya paksa, hendak menyita uang ganti rugi dalam RPL Pengadilan Negeri Sumedang di Bank BTN. Upaya tersebut ditolak oleh BTN karena menyalahi aturan, sehingga BTN tidak menanda tangani berita acara penyitaan (JPU tidak lagi memiliki kewenangan untuk menyita tanpa perintah atau seizin Hakim Tipikor).
Redaksi Sintesa kemudian menghubungi dosen hukum pidana senior Universitas Pancasila, Doni Anteras. Beliau berpendapat tidak ada alasan hukum apapun untuk mengaitkan Dadan Setiadi Megantara, Cs. dengan Udju, Cs.. Putusan perdata Udju, Cs. yang BHT berdiri sendiri, haruslah dilaksanakan. Sementara itu apapun nantinya amar putusan Pengadilan Negeri Bandung (tipikor) tidak dapat menahan uang ganti rugi yang ada pada RPL Pengadilan Negeri Sumedang, karena uang itu untuk ganti rugi tanah, yang tanahnya telah dikuasai Negara dan wajib diserahkan kepada yang dinyatakan sebagai pemenang dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Sumedang.
“Tidak ada korelasi hukum dengan Dadan, karena Dadan bukan pemenang dalam perkara sengeketa kepemilikan”, ungkap Doni.
“Semua pihak hormati hukum saja. Putusan perdata Pengadilan Negeri Sumedang sudah sangat jelas dan memberi kepastian hukum. Penetapan sudah diterbitkan Pengadilan Negeri Sumedang, hormati saja, itulah perintah yang harus dilaksanakan BTN”, lanjut Doni lagi.
Selajutnya Doni menggaris bawahi, oknum BTN dapat dituding menghambat program Proyek Strategis Nasional, dapat diduga melakukan (memenuhi unsur) tindak pidana penggelapan uang sebagaimana diatur Pasal 372 KUHP, dan berpotensi pula dituduh merampas hak milik orang lain secara sewenang-wenang yang dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; “menjadi pelanggaran HAM itu”, ujar Doni.
Dalam kesempatan terpisah, Redaksi Sintesa menghubungi Prof. Mompang L. Panggabean, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Kristen Indonesia.
“Sekarang kembali ke aturan hukum formiil dan materiil saja.”
“BTN tidak perlu menjadi wasit, BTN hanya diminta menyimpan uang ganti rugi selama masih dipersengketakan, dan ikuti saja perintah Pengadilan Negeri tersebut apabila sudah inkracht. Tak perlu ikut campur. Laksanakan saja perintah Pengadilan Negeri Sumedang yang bertanggung jawab. Itulah sikap kita warga negara untuk menghormati hukum.”
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, BTN tidak dapat dituntut oleh siapapun di kemudian hari, karena yang menerima uang ganti rugi yang bertanggung jawab”, disampaikan Prof. Mompang.
Kalau kasus tipikornya, Prof. Mompang merasa heran jikalau JPU tidak melakukan sita dari sejak awal. “Bagaimana Majelis Hakim akan mempertimbangkan sebagai barang bukti ?”, cetusnya lagi.
Sekarang bukan lagi ranah JPU untuk memaksa sita, semuanya sudah menjadi kewenangan hakim. BTN sudah betul tidak menandatangani berita acara penyitaan.
Terkait dengan sikap BTN yang ragu, Prof. Mompang hanya berpesan.
“Apapun pilihannya, sebagai Negara Hukum kita harus menghormati hukum, setiap pejabatnya disumpah untuk melaksanakan hukum dengan selurus-lurusnya, itu saja opsinya, kalau tidak BTN zholim jadinya, sayangnya di Indonesia belum ada aturan contempt of court, kalau ada dapat diperkarakan.”
Ketika ditanyakan apakah tepat JPU memaksa menyita uang ganti rugi dalam perkara tipikor Dadan Setiadi Megantara, “tentunya akan error in objecto”, ungkap Prof. Mompang mengakhiri pembicaraan.