Penulis: Nurul Azizah
Pada malam hari, 11 Maret 1966 setelah 4 Jenderal utusan Soeharto mendapatkan tanda tangan Bung Karno. Istana Bogor dipenuhi oleh RPKAD dan menangkapi beberapa orang petugas istana, termasuk pak Wilardjito.
Letda. Inf. Soekardjo Wilardjito, S.Miss, lahir 22 Februari 1927 di Sidomulyo, Godean, Sleman Yogyakarta. Selama 14 tahun dipenjarakan tanpa proses dan vonis pengadilan. ‘Di-PKI-kan’ oleh rezim Orde Baru.
Dari LP Wirogunan (Yogyakarta), LP Kalisosok (Surabaya), dan terakhir di LP Ambon, bebas tahun 1978. Namanya mencuat setelah “membeberkan” peristiwa Supersemar di harian umum Bernas, 22 Agustus 1998. Hasilnya 29 kali persidangan untuknya dengan tuduhan ‘memberikan kabar bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.’ Akhirnya pada tanggal 14 Agustus 2007, Mahkamah Agung (MA) membebaskannya dari segala tuduhan.
Beliau menuturkan pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 perlakuan rezim Orba yang tidak manusiawi. Sungguh brutal dan sewenang-wenang sekali, tanpa prosedur hukum. Setiap orang yang ditangkap ditodong oleh dua regu, diperintahkan supaya angkat tangan. Tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan dan langsung dinaikkan truk kemudian dibawa ke RTM (Rumah Tahanan Militer).
Surat penangkapan tidak pernah diberikan. Diperlakukan tidak sewenang-wenang, bahkan beberapa kali dipindah ke tempat tahanan lain.
Data-data Wilardjito dari ijazah-ijazah HJS, SMO, SMA, sertifikat dari UGM, ijazah militer, surat nikah, akte kelahiran anak-anaknya diambil semua. Termasuk ijazah dan semua data-data istrinya sebagi perawat di RS CBZ (RS Sutomo Surabaya) termasuk al-kitab miliknya dirampas.
Sejak ditahan Wilardjito disiksa di luar peri kemanusiaan. Dia dicambuki dari pukul 08.00-16.00 WIB dengan cambuk khusus tidak melukai kulit tapi daging dan tulang terasa retak.
Lima bulan berikutnya Wilardjito disetrum 22 kali.
Setelah 4 tahun diperiksa dokter ternyata sumsum tulang belakangnya kering, hal ini menyebabkan kakinya lumpuh.
Yang jelas Wilardjito selalu dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai antek PKI.
Setiap pagi diinterogasi suruh jawab pertanyaan “Kamu antek PKI” tidak jawab digebuk, jawab digebuk, menjawab tidak pasti digebuk.
Wilardjito berasal dari Godean Yogyakarta, Pak Harto juga dari Godean Yogyakarta.
Betapa ironis dua orang berasal dari daerah yang sama berada pada sisi kekuasaan yang berseberangan.
Semua hak-haknya Wilardjito tidak diberikan dari gaji, hingga tunjangan lauk pauk.
Istrinya juga diberhentikan jadi perawat di RS Sutomo karena alasan suaminya antek PKI.
Dengan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, pak Wilardjito masih hidup walau mengalami penyiksaan yang luar biasa.
Kisah pilu dan mengharukan dari penulisnya yang notabene seorang eks tapol Orde Baru. Luar biasa, di hari senjanya beliau masih mampu merekam kisah hidupnya sebagai saksi sejarah dan terus menuliskannya menjadi jejak sejarah yang tak pernah kering.
Kalau logika manusia beliau pasti sudah wafat dengan siksaan yang pedih dan perih selama jadi tahanan politik selama 14 tahun. Tapi itu semua sudah diatur oleh Allah swt, bahwa yang benar akan tampak benar yang salah akan tampak salah.
Tulisan ini masih lanjut dari rangkuman yang diambil dari buku: “Mereka Menodong Bung Karno, Kesaksian Seorang Pengawal Presiden.”
Ditulis oleh Soekardjo Wilardjito dan diterbitkan Penerbit Galangpres (Anggota Ikapi) Jl. Anggrek 3/34 Baciro Baru Yogyakarta 55225.
Nurul Azizah, penulis buku ‘Muslimat NU di Sarang Wahabi‘