SintesaNews.com – Jumlah pembayar pajak di Indonesia masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan rakyat Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh guru besar dan dosen Pajak Institut STIAMI dan UI, Prof Dr. Safri Nurmantu, Msi.
“Dari data yang Ada diperkirakan jumlah Wajib Pajak (WP) OP: 12 juta. Ditambah WP Badan menjadi 13,8 juta (dibulatkan 14 juta). Jika jumlah penduduk Indonesia 270 juta maka 270:14 = 5%,” kata Prof. Safri Nurmantu.
“Jelas masih kurang walaupun beberapa negara yang masih developing countries persentasenya lebih rendah dari Indonesia,” jelasnya.
“Ini berarti masih terdapat kemungkinan besar untuk bisa naik,” ujar Prof Safri yang juga pembina Yayasan Ilomata sekaligus pendiri kampus Institut Stiami
Menurut Prof Safri, masih kurangnya WP ini karena:
- Ekstensifikasi yang masih belum optimal.
- Dugaan ada tax evasion.
- Korupsi, tapi terbatas.
- Kasus 348 triliun yang diungkap Menko MMD belum ditindaklanjuti, akan menjadi contoh yang buruk.
Prof Safri menjelaskan bahwa Indonesia harus memperluas basis pajak yaitu dengan menggunakan ICT atau digitalisasi secara optimal. Dan petugas yang lebih professional.
Di damping itu dari investasi asing yang masuk, masih terbuka lebar di bidang teknologi di Indonesia.
Prof Safri memaparkan bahwa di STIAMI para mahasiswa secara mendasar telah menjadi relawan pajak di beberapa daerah di sekitar Jakarta.
“Sedangkan karya ilmiah berupa skripsi dan tesis berusaha memberikan saran, tapi sangat terbatas, karena data yang dibutuhkan untuk dievaluasi sangat sulit terjangkau,” ujar pakar perpajakan Internasional ini.
Prof Safri mengungkapkan, “Di Australia ATO (Australia Tax Office) berkat konsep BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) berhasil mengungkap WPLN produsen alat komunikasi yang melakukan tax evasion dengan cara mengeruk penghasilan yang diterima Australia.”
“Antara lain ketika laba usaha tercapai, maka laba ini ditransfer ke tax haven countries. Ratusan juta dollar berhasil diamankan,” pungkasnya.