Tunggu Telunjuk Jokowi

Penulis: Roger P. Silalahi

Merenung karena tidak ingin salah pilih, tidak ingin mempunyai Presiden yang tidak mampu melanjutkan hal-hal baik yang telah dimulai oleh Jokowi. Tidak ingin mempunyai Presiden yang tidak menghasilkan perbaikan yang masih banyak dibutuhkan di segala bidang.

Renungan 1.

-Iklan-

Kader Partai adalah milik partai.
Suara Partai adalah keputusan partai.
Partai adalah bagian dari sistem Pemilihan Umum.
Presiden, Gubernur, Bupati, adalah hasil dari Pemilihan Umum.

Ketika keputusan dikeluarkan oleh partai, maka kader partai harus menaati keseluruhan keputusan yang dikeluarkan, dalam kapasitas dia sebagai kader partai.

Ketika kader partai menduduki posisi sebagai Presiden, Gubernur, Walikota atau Bupati, maka kader partai harus menjalankan keputusan partai, selama keputusan partai tidak mencampuri “tugas” dari rakyat (pemilih). Partai tidak berhak mengeluarkan keputusan yang mencampuri posisi kader partai sebagai Presiden, Gubernur, Walikota atau Bupati, karena…

… duduknya kader partai di posisi tersebut bukan mengemban amanat partai, tapi mengemban amanat rakyat (pemilih), dimana rakyat (pemilih) hanya sebagiannya saja yang ada di dalam partai.

Walikota atau Bupati adalah bawahan Gubernur, dan Gubernur adalah bawahan Presiden. Jadi ketika Walikota atau Bupati mengambil keputusan yang bertentangan dengan arahan Gubernur, maka Walikota atau Bupati tersebut salah. Demikian pula jika Gubernur mengambil keputusan yang bertentangan dengan arahan Presiden.

Poin didapat:

  1. Petugas partai posisinya lebih rendah dari Petugas Rakyat
  2. Siapapun yang duduk sebagai Walikota atau Bupati, Gubernur, dan Presiden berstatus Petugas Rakyat, bukan Petugas Partai
  3. Partai tidak boleh ikut campur dalam pengambilan keputusan Presiden, Gubernur, Walikota atau Bupati
  4. Mengambil keputusan yang bertentangan dengan kebijakan atasan dalam struktur adalah pelanggaran
  5. Negara Indonesia milik rakyat Indonesia, bukan milik partai mana pun.

Renungan 2.

Konstitusi berada di atas segalanya, di atas Ketua Umum Partai, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Panglima Angkatan Bersenjata, atau Presiden sekalipun, selama statusnya masih Warga Negara Indonesia apapun posisinya harus tunduk pada Konstitusi. Konstitusi jelas dan tegas mengatur bahwa Indonesia adalah negara yang menghargai Hak Asasi Manusia, menentang penjajahan, menentang diskriminasi Suku Agama dan Ras, berpolitik Bebas Aktif, dan lain sebagainya.

Jadi, ketika ada keputusan yang mengabaikan Hak Asasi Manusia, bersifat penjajahan, atau bersifat diskriminatif, maka keputusan tersebut bertentangan dengan Konstitusi.

Berpolitik Bebas Aktif berarti tidak memihak pada Negara manapun, tapi berpihak pada perdamaian dunia. Tidak perlu para pintar dan pandai memutarbalikan logika dengan kata-kata hanya demi membenarkan perbuatan siapapun yang jelas tegas bertentangan dengan Konstitusi.

Poin didapat:

  1. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah tindakan melawan Konstitusi.
  2. Diskriminasi terhadap Suku, Agama, dan Ras adalah tindakan melawan Konstitusi.
  3. Berlaku diskriminatif terhadap suatu Negara tertentu adalah tindakan melawan Konstitusi.

Renungan 3

Dalam kebingungan menetapkan hati memilih Calon Presiden terbaik untuk Indonesia masa jabatan 2024 – 2029, beberapa hal harus dipertimbangkan. Jika dirunut mungkin akan seperti ini:

  1. Harus Warga Negara Indonesia sejak lahir.
    Hal ini diamanatkan dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.
  2. Tunduk Pada Konstitusi: Ini berarti Calon Presiden tidak boleh memiliki catatan melakukan atau mengambil tindakan yang Bertentangan atau Melawan Konstitusi. Berarti tidak melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tidak Diskriminatif, Tidak Menjajah (dalam segala manifestasinya), Tidak Berpihak pada Negara atau Bangsa Manapun.
  3. Jujur: Kita butuh seorang Politisi kawakan yang mampu berhadapan dengan Politisi luar negeri, paham dan tahu memposisikan diri, menghitung dengan cermat setiap langkah, bermain cantik dan menekuk lutut lawan dengan elegan, dan jujur. Politisi dan jujur ini yang kelihatannya paling sulit ditemukan.

Lalu siapa yang harus dipilih untuk 2024 – 2029 memimpin Bangsa Indonesia…?

Jika mau jujur pada diri sendiri dan objektif melihat calon-calon yang ada, maka tidak satu pun memenuhi syarat untuk maju sebagai Calon Presiden dari 3 calon yang tertinggi elektabilitasnya sampai hari ini.

1. Anies Rasyid Baswedan
Naik menjadi Gubernur DKI Jakarta pun sudah menggunakan strategi memecah belah dengan menggunakan “Politik Identias”. Seluruh poin dari Renungan 1 dan 2 ditabrak dan diinjak-injak. Kelebihan bayar dan intransparansi pengelolaan APBD DKI serta karya nyata yang tidak terlihat ataupun dirasakan, dan setumpuk hal yang harus dipertanyakan, tentunya patut menimbulkan dugaan ketidakjujuran.

Tidak perlu lagi dibahas yang lainnya selama menjabat, semua sudah cukup berbukti dan semoga di depan dibuktikan secara hukum atas segala penyimpangan yang sangat mungkin akan menempatkannya di dalam ruang tahanan dalam waktu yang cukup lama.

2. Prabowo Subianto
Rekam jejaknya menabrak poin 1 dari Renungan 2, tidak akan pernah terlupakan “Tragedi Trisakti ’98”, walaupun dinyatakan sebagai “Perintah Atasan”, tapi Konstitusi lebih tinggi dari atasan manapun. Ini kesalahan masa lalu Prabowo, yang walau belum terbukti secara hukum, tetap harus menjadi pertimbangan.

Keterkaitan dengan Orde Baru juga tidak akan bisa dilepaskan, kekhawatiran akan kembalinya Orde Baru sebagaimana Bongbong Marcos di Filipina sangat wajar ada. Selain itu, keberadaan pribadi yang banyak dipertanyakan, terutama terkait pengendalian emosi, bisnis pribadi yang mungkin akan menghasilkan ‘conflict of interest’ dalam pengambilan kebijakan, dan lain sebagainya.

3. Ganjar Pranowo
Tunduk pada perintah partai menunjukkan ketidakmampuan menempatkan diri dan memisahkan antara diri pribadi sebagai kader partai yang harus tunduk pada perintah partai, dan sebagai Gubernur yang harus berjalan sesuai arahan Presiden. Berpegang teguh bahwa hal tersebut bukan kesalahan, menempatkannya lebih dalam lagi sebagai orang yang menerima dan siap melakukan tindakan diskriminatif dan kebererpihakan pada bangsa tertentu, sementara Indonesia berpolitik “Bebas Aktif”, tidak memihak.

Ketidakmampuan berdiri tegak di atas Konstitusi dan membiarkan campur tangan partai dalam pengambilan keputusan selaku pimpinan wilayah, menimbulkan kekhawatiran bahwa negara akan menjadi milik partai, bukan milik rakyat sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Pilih siapa..?

Hasil survey LSI 3 Mei 2023 menunjuk Prabowo sebagai pemenang, hasil survey lain di waktu lain Ganjar Pranowo pemenangnya, bahkan ada hasil survey yang menyatakan Anies pemenangnya. Pemenang sebenarnya masih menunggu 14 Februari 2024, menunggu hasil pemilu nanti, dan siapapun yang jadi pemenang harus didukung oleh seluruh bangsa Indonesia.

Gerobak besar bernama Indonesia hanya bisa bergerak naik ke atas puncak kejayaan bila didorong oleh semua, tanpa ada yang menghambat, tanpa ada yang melakukan sabotase, tanpa ada yang hanya jadi penonton. Semua harus secara bersama-sama mendorong Indonesia menuju Indonesia Emas.

Kepuasan terhadap Jokowi sebagai Presiden yang mencapai angka 82%, menunjukkan bahwa pengaruh Jokowi sangat kuat sekarang ini di masyarakat. Maka apa yang menjadi pilihan Jokowi pastilah besar pengaruhnya terhadap pilihan rakyat Indonesia. Semangat kebersamaan yang dibawa Jokowi memberikan banyak pengharapan, namun sejauh mana semuanya bisa direalisasikan, sangat tergantung bagaimana kebijakan pemegang tongkat estafet kepemimpinan Indonesia.

Bangsa Indonesia senang menjadi bagian dari pemenang, dan terbukti militan dalam mendukung Calon Presiden yang dipilihnya. Jangankan pertemanan, persaudaraan pun bisa bubar jalan karena urusan ini. Calon yang dipilih harus dipilih oleh mayoritas, harus selesai dalam satu putaran, jika ingin pembangunan tidak terhambat.

Lalu harus pilih siapa…?

Banyak orang menunggu “Telunjuk Jokowi” diarahkan kepada siapa, karena percaya bahwa kepada siapapun “Telunjuk Jokowi” diarahkan, pastilah didasarkan pada pemikiran baik untuk Indonesia. Banyak orang yakin bahwa Jokowi pastilah sudah mempersiapkan keseluruhannya, “deal politik”, batasan-batasan yang harus disepakati, kalkulasi yang matang, karena hanya Jokowi yang tahu persis apa yang akan dihadapi presiden berikutnya, dan bagaimana alur pembangunan jangka panjang dapat dijalankan dalam kondisi Indonesia sekarang, karena Jokowi yang memulai semuanya.

Jadi, apakah akan mengikuti banyak orang yang menjadikan “Tunggu Telunjuk Jokowi” sebagai kata kunci, atau sudah memilih dan akan tetap pada pilihan pribadi tanpa menunggu “Telunjuk Jokowi”…?

-Roger P. Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here