SintesaNews.com – Keputusan pihak kepolisian menembakkan gas air mata dalam kerusuhan pasca laga derby antara Arema FC vs Persebaya, ternyata melanggar aturan FIFA.
Semua itu tercantum dalam pedoman “FIFA Stadium Safety and Security Regulation”.
Pada pasal 19 poin B disebutkan bahwa tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa. Berikut bunyi lengkapnya:
(19) Petugas di pinggir lapangan
Untuk melindungi para pemain dan ofisial serta menjaga ketertiban umum, diperlukan penempatan steward dan/atau polisi di sekeliling lapangan permainan. Saat melakukannya, pedoman berikut harus dipertimbangkan:
a) Setiap steward atau petugas polisi yang ditempatkan di sekitar lapangan permainan kemungkinan besar akan direkam di televisi, dan oleh karena itu perilaku dan penampilan mereka harus memiliki standar tertinggi setiap saat.
b) Tidak ada senjata api atau “gas pengendali massa” yang boleh dibawa atau digunakan.
Jumlah korban tewas atas tragedi kerusuhan di Jawa Timur tersebut sudah melebihi tragedi Heysel, 29 Mei 1985, saat Liverpool vs Juventus yang menewaskan 39 orang.
Bukan mustahil status indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia ditinjau ulang.
Bandingkan saja, dalam tragedi Heysel, 29 Mei 1985, FIFA menjatuhkan hukuman larangan tampil di kompetisi antarklub Eropa kepada klub Inggris selama lima tahun.
Pada 31 Mei 1985 UEFA langsung menghukum klub Inggris tidak boleh terlibat dalam kompetisi Eropa selama Lima Tahun.
Dalam kerusuhan tadi malam (1/10) sebanyak 187 orang meninggal dunia. Akibat insiden di atas, Indonesia terancam mendapat sanksi FIFA hingga pencabutan status tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
Korban kerusuhan laga Arema FC vs Persebaya Surabaya lebih banyak ketimbang tragedi Heysel (Liverpool vs Juventus) di final Liga Champions 1984-1985. Kondisi itulah yang membuat Indonesia dalam hal ini PSSI, berpotensi mendapat hukuman dari FIFA selaku Federasi Sepakbola Dunia.
Tragedy Derby Jatim
Dalam laga yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu 1 Oktober 2022 malam WIB itu, Singo Edan –julukan Arema FC– kalah dari rival bebuyutan mereka Persebaya Surabaya, di kandang mereka sendiri, dengan skor 2-3.
Tak terima tim kesayangan mereka kalah, begitu laga selesai, para Aremania –sebutan supporter Arema FC– langsung turun ke lapangan dari tribun penonton. Alhasil, mereka bentrok dengan petugas keamanan sembari melakukan perusakan di dalam stadion yang membuat kondisi menjadi tidak kondusif.
Keadaan yang sudah runyam itu semakin diperparah dengan gas air mata yang dilontarkan petugas keamanan ke arah tribun penonton. Akibatnya, para suporter menjadi panik dan berdesakan hingga ada yang terinjak serta sesak napas.
Bahkan, peristiwa tersebut sampai mengakibatkan 187 orang meninggal dunia. Angka tersebut melebihi jumlah korban dari Tragedi Heysel yang terjadi pada 29 Mei 1985 dalam laga final Liga Champions antara Liverpool dan Juventus. Kala itu, tembok stadion Heysel runtuh dan menyebabkan 39 orang meninggal dunia.