Penulis: Pande K. Trimayuni
Sebuah pesan dan video masuk ke whatsapp saya. Video wawancara dengan Yang Mulia Cokorda Agung dari Puri/Istana Badung Bali. Wawancara tersebut menggugah saya untuk menulis ini. Melihat video tersebut, saya terharu. Pertama, beliau tidak ragu untuk mengakui bahwa sebelum leluhur beliau menjadi raja di Bali, trah Pande dan Pasek sudah menjadi penguasa di Bali terlebih dahulu. Dan beliau bilang tidak khawatir untuk mengakui fakta sejarah tersebut. Kalau sekarang ada yang tiba-tiba mengaku sebagai keturunan raja, atas dasar apa, apakah ada dasar darah dan sejarahnya. Kedua, beliau mengatakan meskipun secara darah dan sejarah adalah raja, beliau pilih sebagai rakyat Republik (NKRI) daripada mengaku sebagai raja.
Secara jelas, berikut komentar beliau: “…..Saya tidak bilang (mereka) menipu ya…, kalau bisa janganlah. Kalau memang ada Trah-nya, silakan saja. Kalau ada Trahnya, mungkin ada kerinduan… yang berkuasa di Bali bukan kerajaan (yang ada sekarang) dulunya… (Trah) Pasek dan Pande yang punya negeri kita semua. Sampai sekarang ada di pura saya, Ratu Pasek, Ratu Pande. Masih kami hormati. Meskipun saya Cokorda (Trah raja saat ini), ada di pelinggih saya Ratu Pasek, Ratu Pande.” Jadi ada sejarah perjalanan kekuasaan di Bali.
Selanjutnya beliau bilang, “Saya ikut Republik sekarang…, (meskipun) leluhur saya pendiri Kerajaan Badung (meliputi sebagian Bali).” Sebagai catatan, Ratu adalah panggilan untuk Raja/keluarga kerajaan/Brahmin di Bali.
Saya tergelitik. Sebelumnya saya tidak begitu tertarik dengan fenomena klaim kerajaan yang lagi ramai dibicarakan karena rasanya tidak ada faedahnya buat kebaikan saya atau orang banyak. Namun pernyataan Cokorda Agung dalam video tersebut menurut saya sesuatu yang sangat penting untuk bisa memahami sejarah Bali. Sejak dahulu beberapa anggota keluarga memang menyarankan saya untuk juga menuliskan tentang sejarah keluarga. Saya berusaha memahami, seperti pendapat Cokorda Agung, mungkin ada kerinduan dan kebanggaan atas apa yang sudah dilakukan leluhur kita di masa lalu. Sebenarnya sudah banyak yang menuliskan tentang keluarga Pande, termasuk penulis luar negeri, tetapi mungkin perlu juga kita menuliskan sejarah kita sendiri, karena keturunan Pande sebenarnya jumlahnya tidak terlalu banyak di Bali, masih bisa ditelusuri.Tetapi saya pikir semangat yang diperlukan saat ini adalah nasionalisme, kebangsaan bukan feodalisme apalagi fanatisme, meskipun bukti darah dan sejarah ada jika ingin mendeklarasikan diri sebagai “Ratu Pande” misalnya, hehehe….tetapi untuk apa…?
Saya ingat kata-kata seorang teman, “Kalau kita pelajari sejarah secara cermat, tidak semua raja, apalagi keturunannya punya kualifikasi seorang ksatria. Ada yang memakai gelar bangsawan, tetapi dalam darahnya mengalir bukan darah kekesatriaan tapi darah keturunan perampok, sebagian lagi ada yang memperoleh kekuasaan karena hasil tipu daya.” Begitulah kenyataannya, upaya orang untuk mengejar kehormatan dan kekuasaan. Bisa kita pelajari dari sejarah, dari masa ke masa. Berhakkah mereka atas kehormatan tersebut jika demikian ceritanya? Apa arti kehormatan dan kekuasaan itu kemudian?
Ibu saya pernah bilang, “Kalau ada orang mengaku Menak (bangsawan) padahal tidak punya darah menak, karakter dan perilaku pun tidak menak, Itu menyedihkan sekali!” Kebetulan Ibu saya adalah seorang Gusti Ayu dari garis Gusti Arya Pinatih.
Pada prinsipnya, meskipun seseorang mewariskan darah brahmana atau ksatria namun jika tidak menjalankan dharma kebrahmanaan atau kekesatriaannnya maka itu disebut sebagai brahmana/ksatria “bandhu”. Dharma seorang Brahmin adalah sebagai pengayom spiritualitas masyarakat sedangkan dharma seorang ksatria adalah sebagai pengayom dalam domain kehidupan material khususnya sebagai pemimpin masyarakat, yang terdepan dalam membela kehormatan bangsanya. Tidak ada gunanya darah atau keturunan jika tidak bisa merefleksikan nilai-nilai luhur yang diwariskan.
Sebenarnya sungkan bicara tentang keturunan, tetapi ini adalah realitas dan identitas kita. Topik ini saya dengar sejak saya kecil, sejauh saya bisa mengingat, khususnya tentang sejarah Pande (dari garis Bapak) dan Gusti Arya Pinatih (dari garis Ibu). Meskipun tidak hidup dalam “empire”, kami dibesarkan dengan aturan dan nilai-nilai yang cukup ketat. Bukan nilai-nilai yang bersifat keagamaan tetapi lebih tentang warisan nilai-nilai kehidupan. Hidup mulia itu bukan menikmati kemewahan atau privilege, tetapi bagaimana memiliki semangat juang, kepemimpinan dan siap berkorban (dalam pengertian seluas-luasnya). Salah satu contoh pengorbanan dari leluhur kami adalah konon dulu perempuan Pande tidak boleh menikah dengan sembarang orang, sebisa mungkin sesama Pande. Alasannya, jangan sampai ada rahasia-rahasia yang sampai bocor ke pihak lawan. Ikatan dalam keluarga besar Pande sampai saat ini masih sangat kuat. Saling peduli satu dengan yang lain. Di zaman modern ini, keluarga Pande lebih banyak berkiprah di sektor ekonomi, membangun usaha-usaha yang bisa membantu perekonomian masyarakat.
Demikian cerita ringan saya, sedikit berbagi kisah hidup, bagian dari sejarah perjalanan anak manusia. Pada akhirnya kita semua akan mati. Harta/kekayaan, keluarga dan privilege yang kita nikmati dalam hidup ini tidak akan ada artinya. Tetapi, kenangan orang-orang tentang bagaimana kita menjalani hidup akan tetap terbawa dan terpengaruh sampai anak cucu kita. Hormat saya untuk mereka yang benar-benar keturunan kesatria/penguasa, tetapi lebih peduli pada kebesaran dan kemajuan bangsa dan negara daripada ego pribadi. Semoga kebaikan datang dari segala arah menyertai kita semua.
*****
Pande K. Trimayuni adalah seorang penulis, pengajar dan peneliti lulusan Universitas Indonesia dan The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris