Tanpa Kedaulatan Digital Masa Depan Bangsa Indonesia Bisa Gagal

Penulis: Nurul Azizah

Pasca dilantiknya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Raka Buming Raka banyak berita yang mencengangkan. Diantaranya tentang judi online yang telah digeledah oleh Polda Metro Jaya dimana markasnya dioperasikan Pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), di sebuah ruko kawasan Galaksi Grand City, Bekasi Jawa Barat pada Jum’at siang 1 Nopember 2024.

Sejauh ini Polisi telah menangkap 16 tersangka dalam kasus ini, 12 diantaranya pegawai kementerian Komdigi.

-Iklan-

Selusin pegawai Komdigi seharusnya mengawasi laman judi online atau membrokir laman judi online yang berlaku di Indonesia. Tetapi 12 orang pegawai Komdigi telah menggunakan kewenangan mereka dalam mengawasi laman judi online. Tidak memblokir malah tadi backing. Para oknum Komdigi hanya mengamankan sesuai pesanan.

Pada kesempatan ini penulis berusaha menghubungi lewat chat WhatsApp pakar hukum komunikasi Prof Dr. H. Henri Subiakto Guru Besar Komunikasi Politik Unair Surabaya, yang kebetulan ada di satu group WA, juga dari podcast Anak Bangsa TV bersama dengan Rudi S Kamri.

Suatu kebanggaan tersendiri bisa berkomunikasi dengan Prof Henri Subiakto yang sangat padat jadwal sebagai nara sumber diberbagai forum diskusi di acara-acara TV swasta nasional.

Pada tema “Mengapa sulit memberantas Judi Online di Indonesia?” Podcast dengan Rudi S Kamri, Prof Henri dengan semangat menyampaikan bahwa kasus judi online adalah dua peristiwa besar.

Yang pertama, Komdigi tidak mampu untuk menepis atau men-take down konten-konten judi online. Padahal Undang-undang nomor 19 tahun 2016 UU ITE Revisi 1 pasal 40 ayat 2A pemerintah wajib mencegah peredaran informasi elektronik yang muatannya melanggar perundang-undangan. Judi online itu kegiatan yang melanggar UU, dan wajib dicegah, contohnya judi, pornografi, penipuan dan lain-lain wajib dicegah, atau wajib diblokir. Satu kewajiban dan satunya kewenangan dari Komdigi.

Yang kedua, platform medsos yang memuat website atau situs judi online yang di-share ke platform medsos. Yang terjadi di Komdigi untuk pengawasan judi online dipasrahkan ke anak-anak muda yang masih mentah. Ke mana tanggungjawab pemerintah dan Komdigi kalau masalah judi online situsnya diserahkan pada staf-staf yang baru masuk Komdigi tanpa pengawasan yang baik.

Staf-staf di Komdigi seharusnya bertugas memblokir situs-situs judi online, tapi yang dilakukan malah mengamankan sesuai pesanan.

Untuk kasus judi online yang melibatkan pegawai Komdigi kita serahkan ke penyidik Polda Metro Jaya. Kalaupun nanti eks Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi terlibat ya dijerat pasal UU ITE, penyidik masih terus menyelidiki modus operasi jaringan ini.

Selain itu penyidik masih menelusuri pola aliran dana dari adanya judi online, termasuk aliran dana kepada para pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital.

Sekarang saat ini bangsa Indonesia harus memiliki kedaulatan digital. Menurut Prof Henri masyarakat Indonesia sekarang banyak yang menggunakan teknologi dari platform milik orang asing, contoh saja Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, YouTube, Google itu milik Amerika Serikat sedangkan Tik Tok milik China. Kalau masyarakat menggunakan platform tersebut otomatis data pribadi para pengguna akan diproses oleh mesin milik platform. Data yang sifatnya pribadi sudah dikendalikan dan diproses pihak asing. Apakah ini tidak membahayakan dan tidak merugikan Indonesia?

Tentu kedaulatan digital semacam itu harus dipahami Presiden dan Komdigi hendaknya memiliki rencana apa yg akan dilakukan. Tanpa adanya penguatan kedaulatan digital dan keamanan digital, Indonesia berpotensi makin tergantung pihak asing dan mudah menjadi korban.

Presiden dan Kementrian Komdigi harus mampu membuat kebijakan dan regulasi yang memperkuat kedaulatan digital, lewat pengembangan platform sendiri agar data warga negara bisa lebih aman terlindungi.

“Yang namanya keamanan data, tanggung jawabnya selama ini memang ada di penyelenggara sistem elektronik. Terdapat puluhan ribu platform atau PSE yang berkembang di Indonesia karena hampir semua pelayanan kesehatan, perbankan, pendidikan, kependudukan, bisnis, pelayanan pemerintahan, transaksi non perbankan, jasa transportasi dan lain sebagainya sudah menggunakan teknologi informasi yang bisa diakses dengan cepat dan menghemat waktu.”

“Dunia digital adalah dunia terbuka, semua orang bisa mengakses, menggunakan dan kegiatan kita bisa diketahui banyak orang melalui media sosial tersebut.

“Yang menjadi permasalahan apakah Presiden dan Komdigi memiliki visi dan misi bagaimana pemerintah ke depan mampu melindungi data-data kita di dunia online. Mampu melindungi warga masyarakat kalau uang yang ada di rekening di bank dibobol oleh perampok melalui kecanggihan teknologi.”

Pemerintah telah berhasil membuat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE nomor 11 tahun 2008 sebagai produk yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan teknologi informasi. Ke depan Presiden sebagai pemimpin pemerintah harus mampu memiliki pemikiran untuk membuat regulasi baru terkait perkembangan teknologi terkini dan mampu pula menyelesaikan persoalan-persoalan kedaulatan digital negeri ini.

“Presiden dan Komdigi ke masa depan harus mampu mengedukasi masyarakat agar pintar dalam mengelola platform media sosial, jangan sampai banyak korban dari penipuan online yang kehilangan uang dan harta lain karena data kita dijebol oleh hacker atau perampok yang melaksanakan aksinya lewat media online,” tukas Prof Henri.

“Di dalam platform media sosial online ada tiga pihak yang terkait, yaitu kita sebagai pengguna data, pemilik platform (pemilik data elektronik) dan penjahat yang menggunakan data kita,” jelas Prof Henri.

“Lah, di sinilah Presiden dan Komdigi harus peduli terhadap penggunaan teknologi informasi. Misalnya Presiden harus memiliki misi visi jelas untuk kemajuan teknologi, tanpa kedaulatan digital masa depan bangsa Indonesia bisa gagal.”

“Indonesia itu butuh Presiden masa depan yang mampu memikirkan kebutuhan masyarakat dalam hal penggunaan teknologi informasi, dan mampu mengembangkan iklim yang bisa melindungi data elektronik milik warga negara negeri ini.”

“Jangan sampai masyarakat terus menerus dan nyaman menggunakan teknologi informasi milik asing, sudah waktunya pemerintah Indonesia mampu menciptakan dan mendorong platform milik dari bangsa sendiri. Tapi juga menjadi problem, apakah masyarakat mau lepas dengan Google, WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, Tik Tok dan lainnya, itulah tugas pemerintah,” terang Prof Henri mengakhiri wawancara dengan penulis.

Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.

Buku kedua karya Nurul Azizah. “Muslimat NU Militan untuk NKRI”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here