Tanggapan atas Narasi Saiful Huda yang Tiba-tiba Serang Jokowi

Kiri: Saiful Huda. Kanan: Agung Wibawanto

Penulis: Agung Wibawanto

Masih hangat drama Kaesang Pangarep, putera bungsu Jokowi, dengan mulus dipilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Belum lama pula Grace Natalie mengatakan setelah menghadap Jokowi beberapa waktu lalu di istana, “Ojo kesusu. Masih akan ada drama-drama dalam proses nya,” ujar Grace menirukan Jokowi.

Peristiwa ini memang kemudian menjadi drama dalam artian mendapat perhatian besar khususnya kaum netizen. Ada yang suka Kaesang memimpin PSI tapi tidak sedikit pula yang merasa kurang pas. Bahkan ada pula yang sampai marah hingga baper menumpahkan kesalahan kepada Jokowi. Apa salah Jokowi? Opini dengan segala persepsinya berkembang tanpa terhalang.

-Iklan-

Sudah menjadi hukumnya orang-orang populer atau publik figur. Apapun yang dilakukan pastilah berdampak terhadap pergunjingan publik. Selain itu pula, terpilihnya Kaesang sebagai Ketum PSI memanglah tidak umum. Baru dua hari menjadi anggota PSI (setelah melalui polemik berbeda partai dengan Jokowi sebagai bapaknya dan Gibran sebagai kakaknya), Kaesang didapuk menjadi Ketua Umum.

Pemilihan dan penetapan Ketum Kaesang dari Giring, cukup dilakukan melalui acara Kopdarnas. Meski dianggap aneh bagi anggota dan pengurus partai lain, namun begitu setiap partai memiliki aturan dan mekanismenya sendiri. Yang mengganjal, mengapa Ketum baru tidak berasal dari kader PSI sendiri? Masih ada Ade Armando, Faldo Maldini dan Helmi Yahya misalnya.

Tentu PSI ingin membuat lompatan agar tidak menjadi partai kecil terus yang tidak tembus ke Senayan. Jalan pragmatis memang harus dilalui yang salah satunya merekrut anak orang nomer satu di negeri ini. Sebelumnya, memang ada pula nama Budiman Sudjatmiko yang potensial memimpin PSI. Setelahnya, ada pula sosok Gibran Rakabuming yang tidak lain makanya Kaesang. Namun Gibran menolak karena masih menjadi kader PDIP.

Masuknya Kaesang ke kancah politik memang kemudian berdampak kepada Jokowi. Ada yang mengatakan dinasti politik. Jokowi mementingkan kekuasaan untuk keluarganya. Aji mumpung dsb. Celaan ini tidak hanya datang dari lawan politik tapi juga banyak berasal dari mereka yang mengaku pendukung setia Jokowi.

Ada relawan Jokowi bernama Saiful Huda Ems (SHE), Ketum Harimau Jokowi, mengkaitkannya dengan posisi relawan yang dianggapnya diabaikan Jokowi.

Bahkan menurut SHE lagi Jokowi justru memberi gelar kehormatan kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang dianggapnya sebagai tokoh penyebar hoax. Apa kaitannya antara Kaesang menjadi Ketum PSI dengan nasib relawan? Adakah SHE kini merasa tidak mendapat apa-apa dari Jokowi sehingga dia iri kepada Fadli Zon ataupun kepada relawan Projo lainnya?

Itulah kehidupan dan itulah politik. Jika SHE pemain lama tentu paham.

Anda menjadi salah satu (bukan satu-satunya) yang tidak “terserok” dalam jaring kekuasaan lalu merasa kecewa? Mengapa lemah sekali? Masih banyak relawan lain yang tidak mendapat apa-apa tapi tidak mengeluh dan berbalik menyerang Jokowi. Soal Fadli Zon dan Fahri Hamzah mendapat lencana kehormatan negara karena itu perintah undang-undang. Keduanya mendapatkan itu sebagai pimpinan DPR RI periode 2O14-2O19.

Saya coba mengulik dokumen bagaimana kiprah SHE sebagai relawan Jokowi. Selain hobi menulis dengan menyertakan gelar akademis serta jabatannya di komunitasnya, ternyata SHE juga merupakan kader partai Demokrat versi Moeldoko. Dia begitu keras mendukung Moeldoko dan menyerang AHY dan SBY di sisi yang lain. Diketahui, misi Moeldoko cs gagal mengkudeta Demokratnya keluarga Cikeas.

Mungkin ini merupakan satu babak drama yang membuatnya kecewa kepada presiden Jokowi (selain tidak dilirik atau tidak mendapat jabatan apa-apa dari jokowi, sebelumnya SHE sangat berhasrat ditarik ke KSP oleh Moeldoko tapi tidak juga). Tahta dan jabatan memang ternyata bisa mengubah persepsi orang. Diberi jabatan orang akan memuji sementara tidak mendapat jabatan orang balik memaki.

Ini memang bahayanya pegiat politik yang tidak ideologis. Hati, pikiran, ucapan dan sikap hanya berdasar pada pragmatis kehidupan yang tidak lain urusan gengsi sosial. Di mana ada sumber logistik dan akses jabatan, maka ke sanalah dia akan merapat. Namun jika tidak mendapat apa-apa, dia tidak sungkan berbalik arah. Hingga urusan Kaesang menjadi Ketum PSI pun, yang disalahi Jokowi. Sungguh menyedihkan… nalarnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here