Wacana amandemen UUD’45 yang dilontarkan PAN usai “merapat” ke kubu koalisi pemerintah, mendapat banyak respon.
Issue jabatan presiden 3 periode, ibarat melempar cacing di kolam penuh ikan, langsung bergejolak keruh. Ada ikan yang rakus menyambar, menolak dan ada pula yang menelan mentah-mentah.
KOLOM
EDITORIAL
Dahono Prasetyo
Emosional dan rasional berkumpul jadi satu lengkap dengan alasannya. Dua hal pemahaman yang berbeda dalam satu issue mengisyaratkan potensi kontroversi.
Bagi yang berfikir emosional, sosok Jokowi menjadi subyek yang harus diperjuangkan. Bahkan kalau perlu 5 periode atau seumur hidup. Kecintaannya pada sosok Jokowi mengalahkan akal sehat yang mesti jadi pertimbangan keseimbangan hidup bertata negara di negeri demokrasi.
Rasionalnya, Amandemen UUD’45 Presiden 3 periode apabila ketok palu sebelum tahun 2024, maka Presiden yang sudah menjabat 2 periode ini lalu otomatis menyelesaikan bonus 1 periode 5 tahun lagi tanpa Pilpres.
Tidak sesederhana itu Bambaaang…!
Undang-undang berlaku untuk ke depan. Tahun pengesahan ketok palu menjadi awal mulai diberlakukan.
Jika tahun 2023 Amandemen sah, maka mulai diberlakukan pada 2024, artinya siapapun yang terpilih dalam Pemilu akan memulai dari periode pertama terhitung sejak 2024.
Jika Jokowi ikut dan menang lagi di 2024 maka masih ada 3 periode lagi dia diizinkan Undang-undang untuk menjabat. Tinggal dijumlah totalnya 2 periode sebelumnya ditambah 3 periode, menjadi 25 tahun. Cukup untuk mendekati rekor 32 tahunnya Diktator Orba Suharto?
Itu baru satu opsi wacana, opsi lain yaitu memperpanjang masa jabatannya secara otomatis selama 2 atau 3 tahun terhitung sejak. 2024.
Tujuannya untuk penghematan anggaran Pemilu yang berbarengan dengan Pilkada serentak. Opsi ini menjadi paling sexy difikirkan, karena akan berimbas pada masa jabatan anggota DPR-MPR yang mendadak “iri” kalau tidak ikut diperpanjang.
Jabatan, gaji dan fasilitas tidur saat sidang diperpanjang, itu sebuah doa dan harapan yang menggiurkan? Opsi ini yang lebih banyak dipikirkan modusnya di Senayan.
Mundur ke belakang pasca Reformasi. Persaingan Pemilu 1999 melahirkan 2 kubu besar, Golkar dan PDI-P untuk memilih Presiden pasca Orba tumbang. PAN Amin Rais sebagai ketua MPR sukses membuat poros tengah yang “iseng” mengusung Gus Dur sebagai Capresnya.
Atas jasa Amin Rais dan skema PAN, Gus Dur mendapat suara terbanyak menjadi Presiden pilihan Legislatif. Alih alih poros tengah dibuat untuk memecah suara kubu Nasionalis dengan PDIP-nya untuk memenangkan Capres penerus Orba, malah justru menang mengalahkan dua kubu besar. Isengnya PAN berbuah “kecelakaan politik” yang membuat Amin Rais heran dengan skenarionya sendiri.
Lalu dengan segala konspirasinya di tengah jalan Amin Rais dkk. melengserkan Gus Dur yang hingga detik ini tidak pernah terbukti apa kesalahan Gus Dur atas tuduhan menerima suap.
PAN meski tanpa Amin Rais kini mulai “berkarya” lagi, merapat ke koalisi dengan sejumlah agenda intriknya.
PAN dan Nasdem yang pohon induknya dari Beringin juga, kini sedang berencana mengulang “tabrakan politik” 1999 lalu. Targetnya Jokowi
Depok 3/9/21