Penulis: Dahono Prasetyo
Beberapa pengamat memberi statement bahwa gaya komunikasi istana itu “buruk”. Niatan baik tapi disampaikan dengan bahasa majemuk, maka terjadilah multitafsir. Bukan Jokowinya yang buruk bicaranya, bukan pula pelit bicara atau ja’im. Tetapi Pemerintah terlalu percaya diri pada konsep, menggampangkan cara berkabar yang baik.
Ide Jokowi camping di IKN (barangkali) niatan awalnya untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada tempat asri, nyaman dan harmonis di area IKN. Mengilustrasikan konsep back to nature sebuah peradaban baru ibukota negara. Mengumpulkan para Menteri dan Gubernur berdiskusi di titik Nol Kilometer, menyatukan tanah dan air dari 34 propinsi dalam ritual Kendi Nusantara.
Niatan baik yang dicitrakan dengan bahasa camping ground menjadi bias saat itu terjadi tiba-tiba. Tanpa mendung dan gerimis, mendadak Jokowi “ngadem” di dalam tenda parasut. Sekretaris Kepresiden hanya menyampaikan rilis berita, media silahkan memberitakan dengan isi nyaris sama hanya berbeda judul. Tunggu saja efek dominonya setelah balik ke Jakarta, justru produsen tenda sejenis yang dipakai camping laris manis, diburu pembeli lengkap dengan aksesorisnya. Lalu masyarakat lupa niatan awal ada apa dengan titik nol, ngumpul di tengah hutan atau apa saja hasil-hasil pembicaraan.
Persoalannya komunikasi publik tim sukses yang tidak pernah sukses bertambah berat bebannya. Ini baru pra groundbreaking, masih banyak konsep-konsep yang butuh dikomunikasikan kepada masyarakat selama proses pembangunan IKN. Bagaimana menyampaikan pesan konsep moda tranportasi non karbon, akulturasi sosial budaya, sumber pembangkit listrik tenaga angin, kandungan lokal material infrastruktur, hingga skema pembiayaan pembangunan yang transparan. Semua butuh bahasa komunikasi yang tidak sporadis, hanya berhenti pada satu momentum. Selesai acara hilang tak berbekas.
Jokowi yang sudah “ikonik” butuh “humas”, bukan viral pemberitaan. Tim komunikasi publik yang bekerja mengawali, mempresentasikan, melaporkan perkembangan hingga mencatat kritik dan masukan, bukan jubir yang banyak berbicara ketika saat ditanya. Yang selama ini kita saksikan tiba-tiba Jokowi sudah di pinggir bendungan baru, ruas jalan tol, pasar tradisional, hulu sungai, pinggir sawah, sirkuit, sampai di tengah hutan. Nyaris tidak ada narasi awal yang dikomunikasikan sebelumnya.
Masyarakat baru tahu titik nol kilometer di Panajam setelah Jokowi datang, tetapi tidak pernah diberi penjelasan esensinya mengapa Jokowi datang??
Itu baru urusan infrastruktur, belum sampai pada urusan kebijakan. Yang niat awalnya memperbaiki ketimpangan gegara disampaikan instan, justru berbalik jadi negatif, Jokowi pula yang jadi sasaran. Setelah diprotes sana sini buru-buru timses memberikan klarifikasi.
Pakdhe, urusan IKN Nusantara ke depannya nanti jangan sampai mengulang kelemahan komunikasi yang sudah-sudah. Siapapun pendukungmu juga bisa jadi marketing yang baik, asal diberi kesempatan juga. Ajak kami netijen camping jalan-jalan juga ke IKN, bukan hanya pejabat diiringi wartawan media. Agar kami bisa cerita tentang harumnya rumput dan beningnya embun di IKN, menghitung taburan bintang di atas langit Kalimantan, kicau burung dan suara serangga di Penajam, atau Sunset Sunrise di balik tenda. Itu juga butuh disampaikan meski tidak lebih penting dari upaya mewujudkan IKN Nusantara di sisa waktu jabatan Pakdhe.
Membangun IKN Nusantara itu mudah, yang sulit justru meyakinkan semua pihak bahwa itu milik kita bersama.
Jangan biarkan Jokowi kerja sendirian.