Spa Bukan Bisnis Hiburan Melainkan Kesehatan

Board of Etnaprana

SintesaNews.com – Sebanyak 35 asosiasi spa wellness nusantara yang tergabung dalam Board of Etnaprana telah memaparkan keberatannya atas dimasukkannya spa ke dalam kategori bisnis hiburan yang bisa dikenakan pajak 40 sampai 75% di dalam UU no.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

Paparan Board of Etnaprana tersebut dalam rangka menghadiri undangan hearing dari Kementerian Keuangan, yang bermaksud untuk mendapatkan masukan dari para stakeholders terkait UU tersebut (pasal 55) yang memasukkan usaha spa dalam bisnis hiburan dan rekreasi dengan tarif pajak sebesar 40 hingga 75% (pasal 58).

Perwakilan dari 35 asosiasi yang mendukung spa Wellness Nusantara itu memaparkan bahwa spa bukanlah termasuk dalam kategori hiburan melainkan sebagai sarana layanan kesehatan yang berbasis budaya.

-Iklan-

Etnaprana telah merumuskan definisi spa yang berdasarkan dari studi dan hasil riset para master wellness yg tergabung dalam asosiasi IWMA (Indonesia Master Wellness Association) yang terdiri dari para ahli di bidang Antropolog baik Kesehatan maupun Budaya, Ahli Herbal, Farmakolog,
Dokter Rehab Medik, Dokter ahli gastro, ahli Aroma Therapy, para praktisi Wellness dll, maka Spa merupakan kesehatan promotion, prevention dengan rehabilitation berdasarkan local wisdom dan local genius etnis-etnis Indonesia yang mengutamakan keseimbangan hubungan manusia dengan alam.

Wellness system Indonesia yang berakar budaya Nusantara baik dalam cara berpikir, bersikap, kebiasaan melalui pendekatan psikis, meditasi, olah tubuh, olah nafas, makanan/minuman, aroma, thermal, hydro, herbal dll.

Dirjen Perimbangan Keuangan, Lucky Alfirman menyampaikan kepada Board of Etnaprana bahwa para asosiasi spa bisa menggunakan pasal 101 dalam UU HKPD tersebut untuk mendapatkan insentif fiskal dari pemerintah daerah kabupaten dan kota yang mengeksekusi pajak dan retribusi ini. Sehingga pajak yang dikenakan tidak sampai 40%. Hal tersebut tentu tergantung dari tiap-tiap daerahnya, karena daerah-lah sebagai pelaksana dari UU tersebut.

Bagaimanapun terbukanya Kemenkeu atas masukan dan kritik sangat dihargai oleh Board of Etnaprana meski Kemenkeu belum bisa memberikan solusi atas permasalahan tersebut.

Kemenkeu menjelaskan bahwa masalah ini juga telah dibahas dalam Ratas (Rapat Terbatas) pada 19 Januari lalu yang dipimpin Presiden dan memutuskan Mendagri untuk mengeluarkan Surat Edaran (SE) Mendagri.

Adapun Board of Etnaprana ini diwakili oleh H. Akhyaruddin Yusuf, SE,. M.Sc dari IWMA, Dra. Agnes Lourda Hutagalung Budi Dharma (Wakil Ketua Board Etnaprana), YM Dra. Hj. R. Ay. Yani WSS Kuswodidjoyo (MAKN), Dra. Yulia Himawati – IWSPA, Verawati (DAI), dr. Agastjya Wisjnu, Sp.PD-KGEH FINASIM (IWMA), Deta Indriana – (anggota WHEA /Owner Aleenahoz Beauty)

UU ini menjadi masalah diakibatkan adanya bisnis esek-esek atau prostitusi terselubung yang menggunakan kedok spa massage sebagai kamuflase. Namun anehnya pemerintah menggebyah-uyah (menyamaratakan) seakan usaha spa adalah seperti itu semua. Bahkan usut punya usut dari kalangan DPR yang mengusulkan UU tersebut spa dianggap ada unsur mudhorotnya.

Sebagaimana diketahui sebelumnya terjadi kegaduhan atas dilaksanakannya UU HKPD (Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah) yang menetapkan pajak atas Jasa Hiburan yang meliputi diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

Saat ini UU HKPD tengah diajukan ke MK untuk Judicial Review. Sementara itu Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memastikan pengusaha jasa hiburan tidak dikenakan pajak sebesar 40-75%. Menurutnya aturan yang menjadi acuan adalah Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Menurutnya, lebih baik kembali ke tarif lama karena bisa berimbas pada 20 juta tenaga kerja bidang jasa hiburan pada umumnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here