A true Friend is the best Possession…
Benjamin Franklin
Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Lulus SMA, semua berlomba mencari universitas untuk melanjutkan studi, katanya biar jadi orang pintar, demikian pula saya. UMPTN waktu itu namanya, test dimana semua peminat kuliah disaring pakai ayakan dewa, kalau lolos, masuk universitas negeri, kalau tidak lolos, masuk universitas swasta atau kerja.
Tahun itu tahun 1989, dan saya tidak lolos saringan dewa, gagal masuk universitas negeri. Celakanya adalah, saya tidak mendaftarkan diri untuk kuliah di tempat lain, saya yakin masuk UMPTN, saya sombong, dan saya jatuh. Saya tidak terlalu kecewa saat itu, hanya bingung mau bekerja atau mau apa. Bapak saya mengarahkan saya mengambil program singkat D1 Komputer yang baru dibuka di Universitas Padjadjaran, sambil ikut bimbingan test untuk persiapan UMPTN tahun depan.
Sambil kuliah, saya ikut bimbingan test Ipiems di Bandung, dan satu kelas dengan beberapa junior saya di SMAN 1. Ada Heidy Yamasari, orang Sunda, junior saya di Paskibra yang selalu bersama pacarnya waktu itu, namanya Audy S. Utama, orang Padang. Mereka berdua selalu bersama satu anak lain, namanya Iwan Meulia Pirous, orang Aceh, dan setiap istirahat kita ngobrol berempat sambil tertawa-tawa.
Empat orang dari suku yang berbeda, akrab dan semakin akrab setiap hari. Persahabatan terjalin sampai UMPTN digelar, saya diterima di Kriminologi FISIP-UI, Iwan diterima di Antropologi FISIP-UI, Audy gagal dan melanjutkan studi ke Boston, sementara Heidy gagal dan melanjutkan di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan.
Saya dan Iwan berangkat ke Jakarta bersama, saya tinggal di rumah kakak di Pasar Minggu, sementara Iwan kost di Kukusan, samping Kelurahan. Hari lepas hari kemana-mana bersama, seperti kembar siam, nempel di hati.
Dari obrolan lepas obrolan, Iwan cerita mengenai masa SMA, waktu baru masuk, ada senior yang galak sekali, memarahi dia karena kuku tangan kirinya agak panjang. Iwan menyampaikan alasan bahwa dia main gitar, dan dia kidal. Sang senior tidak peduli, Iwan dihardik dengan pernyataan; “Saya juga kidal, saya juga main gitar, tapi kuku saya pendek semua…”, dan senior itu adalah saya.
Iwan bilang; “Benci banget gua sama lu dulu…”, saya hanya senyum sambil bertanya; “Masih benci…?”, Iwan tertawa dan bilang; “Buat apa memendam kebencian, toh nyatanya lu baik koq…”, dilanjutkan dengan; “Tapi waktu itu lu nyebelin banget…”, lalu kita tertawa berdua.
Saat kekeraskepalaan saya membuat saya mengambil langkah melepaskan diri dari keluarga, dan memulai hidup sendiri, dari keringat sendiri, Iwan selalu ada mendampingi saya. Saat membuat lamaran, mencari kerja ke sana ke mari, gagal terus, sampai akhirnya harus ngamen di Blok M untuk bisa dapat uang dan dapat makan, Iwan tetap ada untuk saya.
Bukan satu kali terjadi dimana saat pulang ngamen saya ke kost Iwan dan dia bertanya; “Lu sudah makan belum…?”, jawaban saya selalu “Sudah…”, walau bohong, dan Iwan cukup mengerti gengsi saya ketinggian, dia diam sebentar lalu bilang; “Gua belum makan, temenin yuk…” ujungnya memaksa saya ikut makan.
Saat saya sudah dapat kerja yang bagus pun Iwan ada, dia paham kapan harus membiarkan saya sendirian, kapan harus buatkan kopi dan ambil gitar untuk nyanyi berdua.
Persahabatan kami tidak lepas, walau masing-masing sibuk dengan urusan masing-masing, sampai lulus, sampai kerja, sampai Iwan menikah, sampai saya pindah ke Bali, persahabatan kita tidak pernah putus. Kapanpun, Iwan bisa selalu telepon saya, dan saya bisa selalu telepon Iwan, apapun urusannya. Seperti hari ini, 12 Agustus 2021, saya telepon Iwan dan bilang; “Wan, gua nelepon lu ada perlu…”, dengan suara tenang dan adem khas Iwan; “Ada apa Joy, lu perlu apa…?, saya jawab; “Gua perlu bilang Selamat Ulang Tahun ya Wan…”. Iwan tertawa, lalu kita ngobrol beberapa saat.
Sahabat adalah orang yang mengerti kita, percaya pada masa depan kita, dan menerima kita apa adanya. Persahabatan yang sejati tidak perlu intens kontaknya, tidak pernah ada ‘apa-apanya’, hanya kemurnian dan ketulusan untuk selalu ada bagi kita, suka ataupun duka.
Pengamalan sila Ketiga Pancasila salah satunya adalah menjaga persahabatan dengan semua orang, tanpa memandang untung rugi, tanpa pamrih. Seperti Iwan, dia menjadi sahabat saya yang selalu siap untuk mendengarkan, membantu mencari solusi, memperhatikan, memberikan saran, mengkritik kesalahan saya, bahkan memarahi bila perlu, murni, tulus.
Iwan, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini adalah seri tulisan dari “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca artikel lainnya: