Soal Pemilu 2024: Usulan Perubahan dari PKB, Golkar dan PAN, Alhamdulillah yang Dicecar PSI

Penulis: Andre Vincen Wenas

PSI yang walau sebagai parpol non-parlemen diminta (didesak?) untuk ikut merespon/bersikap terhadap perilaku politik (political behavior) para elit parpol parlemen. Apa yang mesti direspon?

Ada 3 Ketum Parpol, Gus Muhaimin (PKB), Pak Airlangga (Golkar) dan Bang Zulhas (PAN) yang mereifikasi cetusan Menteri Bahlil soal penundaan pemilu atau perubahan periodisasi masa jabatan presiden. Itulah yang mesti direspon.

-Iklan-

Risiko dalam berpendapat adalah bakal ada yang pro, tapi ada juga yang kontra. Tak mengapa itu biasa saja, yang penting diusahakan jangan sampai ada yang salah tangkap pesannya. Ini bisa bikin repot.

Lalu, apa respon PSI terhadap sikap ketiga ketum parpol parlemen itu?

Sekjen PSI Dea Tunggaesti yang merespon, begini katanya:

“Bila partai-partai di DPR melihat ada aspirasi yang kuat dimana rakyat ingin agar Pak Jokowi meneruskan kepemimpinannya untuk periode ketiga, maka jalan satu-satunya adalah melalui proses amandemen UUD 1945 sehingga memungkinkan jabatan presiden dibatasi dengan maksimal tiga periode.”

Sebelumnya juga ditegaskan oleh Sekjen Dea bahwa PSI menolak penundaan Pemilu Serentak 2024. Jadi harus tetap dilaksanakan pada 14 Februari 2024, lantaran itu adalah keputusan yang didasari kesepakatan antara KPU, pemerintah dan wakil rakyat (DPR). Argumen soal “krisis ekonomi” lantaran pandemi sebagai alasan penundaan pemilu juga ditolak.

Sejenak mari kita analisis konteks serta situasinya.

Pertama kita mesti ingat kembali bahwa konteks sistem politik kita adalah demokrasi perwakilan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Lalu situasinya pada Februari lalu ada 3 ketum parpol parlemen yang mengusulkan perubahan jadwal pemilu. Faktanya ketiga parpol parlemen itu punya 187 kursi di parlemen. Ini artinya mereka bisa diasosiasikan sebagai representasi perwujudan (sebagian) suara rakyat juga bukan?

Maka sontak isunya jadi wacana umum yang ramai diperbincangkan. Perdebatannya seru di ruang publik. Ada yang diskusinya intelek, namun ada pula yang bicaranya norak dan bergaya preman pasar.

Entah bagaimana cara menafsirkan pernyataan Sekjen Dea di atas itu, PSI pun ikut dicecar oleh sementara kalangan lantaran “dituduh” mendukung Jokowi 3 periode, dan itu katanya inkonstitusional.

Hmm… alhamdulillah juga kalau sampai dicecar terus, artinya PSI walau masih sebagai partai non-parlemen, pendapatnya sangat diperhatikan publik. Terima kasih.

Kembali ke pernyataan Sekjen Dea. Padahal dalam kalimatnya ada prakondisi, yaitu mesti lewat amandemen sebagai syarat konstitusional. Sebaiknya kita baca ulang dengan lebih seksama respon dari Sekjen Dea tadi:

“Bila partai-partai di DPR melihat ada aspirasi yang kuat dimana rakyat ingin agar Pak Jokowi meneruskan kepemimpinannya untuk periode ketiga, maka jalan satu-satunya adalah melalui proses amandemen UUD 1945 sehingga memungkinkan jabatan presiden dibatasi dengan maksimal tiga periode.”

Di sini sebetulnya sikap PSI sangat jelas, bila para wakil rakyat di parlemen itu betul telah menangkap adanya aspirasi rakyat, ya silahkan uji keotentikannya itu di forum parlemen lewat proses amandemen. Itulah justru jalan yang konstitusional!

Melalui proses amandemen yang sesuai konstitusi itulah apa yang katanya aspirasi rakyat itu diuji. Semacam proses pemurnian yang bisa membuktikan apakah usulan 3 ketum parpol (PKB, Golkar & PAN) itu adalah sejatinya suara rakyat, atau cuma aspirasi dari elit tertentu.

Silahkan juga pakai segala masukan hasil jajak pendapat dari berbagai lembaga survey yang kredibel dan hebat-hebat itu, tapi dengan sikap yang kritis. Bacalah juga opini para tokoh masyarakat. Kaji kembali segala masukan hasil tangkapan selama masa reses bersama konstituen.

Diskusikanlah, bahkan perdebatkanlah habis-habisan di forum parlemen yang terhormat dengan cara yang terhormat pula. Batas waktunya sampai sebelum September 2023 saat nama-nama pasangan capres-cawapres sudah mesti masuk ke KPU. Jadi ada waktu sekitar satu setengah tahun saja.

Bahwasanya PSI sebagai parpol non-parlemen itu mengagumi (bahkan mencintai) serta mendukung kerja politik Pak Jokowi selama ini, itu sudah jelas. Tapi untuk soal menunda pemilu jelas menolak. Apalagi merubah masa jabatan jadi 3 periode, itu jelas tidak bisa (artinya ya menolak) selama konstitusinya membatasi hanya 2 periode.

Giring Ganesha, Ketua Umum PSI, saat pembukaan “Rembuk Rakyat Mencari Penerus Jokowi” (rembukrakyat.psi.id) pada 24 Februari 2022 menegaskan, “Di Partai Solidaritas Indonesia kami membangun tradisi untuk mendengar suara rakyat, kedaulatan tertinggi di dalam politik!”

Suara rakyat adalah kedaulatan tertinggi dalam politik. Maka, apa pun hasil permusyawaratan para wakil rakyat itu akan dianggap sebagai suara rakyat (vox populi). Apalagi bila permusyawaratan itu dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, maka itu seyogianya dianggap juga sebagai suara tuhan (vox dei).

Sementara itu, kita dengar dari kalangan mahasiswa ada yang mau demo menolak amandemen. Ya tentu boleh saja, asalkan taat protokol kesehatan serta tidak mengganggu ketertiban umum.

Dalam forum demonstrasi itu nanti silahkan demonstrasikanlah kecerdasan argumen dalam retorika yang elegan.

Demokrasi adalah sistem politik yang mengedepankan percakapan. Kerap jadi agak berisik memang. Namun situasi dialogis tetaplah harus dibangun. Itulah esensi demokrasi. Membangun dialog antar partisipan untuk mencari kebaikan tertinggi (summum-bonum) demi kemaslahatan umum (bonum-commune).

Sehingga tercipta suatu dialektika progresif… yang cerdas dan mencerahkan!

07/03/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here