Simulacra, Reproduksi dan Distopia

Penulis: Dahono Prasetyo

Inilah dunia yang kini kita tempati. Dunia yang sudah diprediksi sejak tahun 1960an. Dunia simulasi yang ditandai dengan rekaan-rekaan realitas yang ‘diputar berulang-ulang.’ Seperti video game atau berbagai aplikasi yang sering dipakai calon pilot, astronot dan semua pekerjaan teknis yang membutuhkan suatu tiruan realitas yang hendak dihadapi.

Kehebatan simulasi tentu adalah memberi kesempatan pada manusia untuk menunda hal-hal buruk. Seperti kecelakaan dan peristiwa tertentu yang hendak dihadapi. Seperti latihan pidato, persiapan musisi sebelum konser atau pertunjukan apapun yang dibuat agar memperhatikan kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul. Semakin sering simulasi terjadi, semakin matang manusia menghadapi kenyataan.

-Iklan-

Dalam kisah tradisional hal semacam ini boleh jadi merupakan proses manusia ‘mencuri rahasia masa depan.’ Karena manusia mencoba mencuri bagian-bagian tertentu, proyeksi dari realita yang akan dihadapi. Oleh sebab itu, presentasi kegagalan semakin kecil.

Simulasi yang berulang-ulang telah menjadi protokol dalam pekerjaan teknis tertentu. Anggaplah Simulasi adalah produksi. Bukan hanya barang materil yang dibuat. Produksi dalam pengertian ini adalah menciptakan realitas yang berulang-ulang. Iklan yang diulang-ulang. Drama korea yang diulang-ulang. Jika anda penonton drama korea yang sebelumnya veteran film Hollywood, anda akan menemukan beberapa film Drakor adalah tiruan-tiruan dari film Barat.

Kita bisa bayangkan, bahwa kemajuan Eropa karena dunia simulasi yang mereka ciptakan; produktivitas secara berulang-ulang.

Pada tahap selanjutnya, anggaplah seisi dunia ini sudah habis diproduksi. Ada jutaan film, musik, nada atau ideologi yang diproduksi di dunia ini. Anggaplah sudah habis semua itu diproduksi. Anggaplah semua nada sudah dinyanyikan oleh berbagai musisi dan grup musik. Lalu apa yang tersisa bagi generasi selanjutnya?

Inilah yang disebut Simulacra dan Simulacrum. Kita mereproduksi realitas. Era ketika dunia fantasi diciptakan sudah habis. Disneyland, Dreamland, atau Transstudio adalah mahakarya simulasi. Sebuah dunia yang berulang-ulang diproduksi. Jika mereka tidak bisa mereproduksi realita, mereka akan musnah. Namun Utopia digantikan Distopia. Banyak taman rekreasi super besar yang hampir seluas kota, sebuah kota rekaan seperti tempat para artis film mengambil gambar, latar dan realita. Kini beberapa di antaranya telah menjadi tempat horor, ditinggalkan masyarakat karena didorong oleh rasa bosan.

Seperti musik, memproduksi banyak lagu adalah impian musisi manapun. Mahakarya. Setiap musisi membanggakan album musik mereka. Pada era 1990an tidak terfikirkan bagaimana seorang penyanyi bisa sukses hanya karena satu atau dua lagu. Memasuki Era Simulacra atau Simulacrum, dunia kembali direproduksi. Penyanyi hari ini tidak ada yang ‘orisinil’. Lagu-lagu di Indonesia digubah ulang oleh penyanyi Korea.

Konon De Masiv meniru lagu-lagu Barat, atau lagu-lagu Jepang yang meniru nada-nada band Peterpan yang sudah bubar. Peterpan telah mati, lahirlah Noah. Personilnya, kurang lebih sama. Namun kejayaan Ariel sudah memasuki masa akhir. Muncul penyanyi atau band dengan satu dua lagu. Bahkan hari ini penyanyi tanpa lagu bisa terkenal dalam sekejap.

Justin Bieber adalah generasi pertama, penyanyi yang melambung ke tingkat popularitas tertinggi hanya karena menyanyikan lagu orang lain. Ia tidak memproduksi lagu dan nada. Ia hanya mereproduksi lagu orang lain. Istilah yang dipakai adalah ‘cover version.’

Reproduksi terjadi di mana-mana. Namun dilupakan, reproduksi adalah bagian dari produksi. Ia hanyalah cara menghemat sumber daya. Seperti mengumpulkan sampah plastik untuk dijadikan botol plastik sendiri. Tujuan utamanya agar masyarakat modern tidak punah karena kehabisan produksi. Jadi, bukan lagi mengolah barang mentah menjadi barang ‘jadi.’ Pada puncak modernitas, semua barang ‘sudah jadi.’

Para petani menanam padi, diolah menjadi beras kemudian dimasak menjadi nasi. Nasi dijual dalam berbagai bentuk. Ketupat, nasi goreng, nasi godok, nasi kering, rengginang dan lain sebagainya. Dunia Simulacra ternyata membuat semuanya tidak mudah. Jarak antara anda dan petani padi begitu rumit.

Ketika anda memesan nasi dari Aplikasi Go-food, sebenarnya anda memasuki dunia simulasi sekaligus Simulacra.

Sepertinya ini adalah masalah kita semua. Ketika kita hendak memesan Nasi. Kita dipersyaratkan untuk memiliki Gadget. Sebelum itu harus tersedia listrik dan sinyal yang baik. Jangan lupa quota (data internet, red.) atau wifi.

Untuk melihat nasi dalam aplikasi go-food, anda sudah melakukan konsumsi paling boros; Listrik dari batubara, sinyal dari tower yang membabat lahan, dan gadget yang merupakan gabungan dari pertambangan seluruh dunia (timah, besi nikel, kaca dan lainnya).

Anda juga disyaratkan untuk menginstal aplikasinya. Anda juga perlu menyetujui agreement yang tidak bisa diedit atau anda memilih satu pasal dan tidak memilih pasal lainnya. Anda telah jadi konsumen yang menyedihkan.

Ketika anda memasuki aplikasi, berbagai data telah diserap. Referensi identitas, ketertarikan dan minat. Ketika anda melihat gambar nasi dalam layar kecil gadget, anda berada pada dunia Simulacra yang memberikan banyak pilihan.

Itulah yang membuat saya selalu berdebat dengan istri apabila kami hendak memilih makanan siap antar dari aplikasi gadget. Berapa lama anda memilih makanan sementara anda sedang lapar? Apakah itu wajar?

Namun, semua keresahan ini dialihkan pada jarak tempuh para driver yang sebenarnya adalah pengantar paling cepat karena selalu diancam oleh kebijakan perusahaan teknologi. Padahal jarak tempuh yang adil seperti ini:

sejak anda membuka aplikasi ditambah;

memilih makanan ditambah;

waktu proses makanan oleh restoran bersangkutan dan ditambah;

waktu tempuh pengantar makanan.

Tapi anda akan menyalahkan driver hanya karena mereka terlambat, 5-10 menit. Inilah cara perusahaan mengadu domba driver dengan upah tidak jelas dan konsumen yang sudah membelanjakan uangnya jauh sebelum bisa memilih makan yang mereka inginkan.

Tidakkah aneh, dari cara pandang dunia produksi (simulasi), anda memiliki uang dan anda lapar, namun anda sibuk memilih makanan yang membuat anda tambah lapar?

Dalam kehidupan sehari-hari, saya menganggap keputusan untuk membeli makanan sendiri sambil berjalan kaki, bertemu pedagangnya, memberi mereka uang secara langsung; adalah kemewahan yang tidak dimiliki oleh mereka yang merasa untung karena bisa mendapatkan makanan dengan cara menunggu di rumah saja. Mereka tidak sadar bahwa mereka sangat dirugikan dari sisi naluriah.

Saya menyadari ini ketika sering mengajar kehidupan manusia purba. Mereka begitu objektif. Mereka berinteraksi secara langsung, marah langsung marah, benci langsung memukul, sedih langsung menangis dan makan langsung mencarinya.

Berbeda dengan kita yang dalam interaksi; marah, benci dan sedih dititipkan dahulu kepada media sosial dan ketika lapar menyetorkan data kepada dunia digital sebelum benar-benar sampai pada rasa kenyang.

Para manusia purba pasti akan mentertawakan kita karena untuk sampai pada makanan, kita menundanya, membagi keuntungan dari harga yang dibayar kepada orang yang ada di belahan dunia lainnya, hanya karena mereka memiliki saham dalam setiap tahap yang kita jalani ketika melakukan konsumsi. Inilah yang disebut Rasio yang tidak masuk akal. Memang rasional. Tapi tidak masuk akal.

Gojek adalah contoh paling pas dalam melihat reproduksi. Ojek sudah ada sebagai suatu produksi. Namun direka ulang, seolah-olah ini adalah bentuk baru dari pekerjaan sebelumnya.

Dunia Reproduksi sebenarnya adalah tahap yang paling menakutkan. Pertama, artinya dunia ini sudah habis untuk diproduksi. Kedua, reproduksi membuat kita lupa bahwa hal-hal buruk tengah terjadi.

Para petani tidak berkuasa atas setiap butir beras yang mereka hasilkan. Kualitas para ojek kini ditentukan oleh kebijakan perusahaan teknologi, bukan oleh persoalan yang berhasil mereka pecahkan; seperti layanan transportasi yang baik dan menyenangkan.

Kita mendapatkan nasi terbaik dari jerih payah petani dan ojek, namun keuntungan itu diambil oleh perusahaan yang tidak pernah hadir dan bekerja untuk menghasilkan hal tersebut. Sayangnya, tulisan ini bagian dari reproduksi, mengingat apa yang saya katakan bukanlah hal baru. Inilah cara hidup hari ini.

Depok 29/07/2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here