Penulis: Nurul Azizah
Saat ini kita dihadapkan pada polemik beragama. Kalau kita membahas kelompok minhum (alias kelompok non mayoritas) atau kelompok non familiar dengan budaya Indonesia, kita merasa risih sendiri. Sering terdengar, sesama muslim kok saling menjelekkan.
“Kamu tu lho dengan non muslim saja bisa akur, tetapi dengan saudara sesama muslim malah tidak suka.”
Kata-kata itu sering kita jumpai manakala ada sekelompok minhum yaitu kelompok yang kerap kali menuduh kelompok lain yang tidak sepaham sebagai ahli bid’ah. Kelompok ini menuduh warga nahdliyin (NU) sebagai ahli bid’ah.
Dengan jargon kembali ke sunnah, seolah-olah mereka menempatkan diri dan kelompoknya sebagai kelompok yang paling islam, paling suci dan ahli surga. Sedangkan kelompok lain dinilai tidak sesuai dengan islam.
Kelompok minhum tersebut adalah mereka yang tergabung dalam kelompok wahabi, salafi, takfiri, HTI, FPI, PKS, JI, JAD, ISIS dan cheers leadears-nya.
Tuduhan dari kelompok minhum terhadap kelompok lain seperti NU karena kesalahpahaman dalam memahami agama. Dalam berdakwah kelompok minhum menggunakan dalil-dalil Al-Quran secara “membabi buta” dan tidak menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih.
Karena tidak menggunakan ushul fiqih secara komprehensif dalam memahami syariat islam, maka kelompok minhum menuduh kelompok lain yang tidak sefaham sebagai ahli bid’ah.
Yang lebih parah lagi, kelompok minhum menuduh NU adalah ajaran yang tidak berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis, sehingga orang awam NU sendiri malah menjauhi ajaran ahli sunnah waljamaah NU. Mereka yang awam tentang ilmu agama mudah terprovokasi dan mudah terpengaruh tipu daya mereka.
Banyak orang NU meninggalkan ajaran yang telah diajarkan oleh kakek moyangnya dan lebih memilih berpihak kepada kelompok minhum. Mereka yang sudah tercuci otaknya mengatakan orang lain kafir dan sesat.
Kondisi yang seperti ini harus disikapi oleh para ulama NU, Pengurus NU,santri NU, pegiat NU, warga NU. Jangan sampai kita warga NU dengan mudah kena tipu daya dan hoax dari kelompok minhum tersebut.
Adanya faham yang mengharamkan ziarah kubur, tahlilan, manaqiban, semak’an Al-quran, maulidan, manaqiban, istiqosahan dan lain-lain amalan NU adalah faham khawarij salafi wahabi.
Kelompok khawarij sudah ada sejak zaman Kanjeng Nabi, zaman khulafaur rosyidin, sampai sekarang tetap eksis, bermetamorfosis dan semakin berkembang biak di Indonesia. Mereka kelompok minoritas tapi kerap sekali memprovokasi, membuat onar, suka menteror, bahkan melakukan kerusuhan-kerusuhan di berbagai daerah wilayah Indonesia.
Ajaran salafi wahabi bukan ajaran salaf kita. Salaf yang kita pelajari adalah salaf ahlusunnah waljamaah.
Jangan biarkan kata salaf, hijrah, sunnah, Al-islam, jihat dan lain-lain direbut mereka.
Saya sering menemukan di fanfage, blog pribadi atau website, serta konten medsos, mereka banyak menggunakan istilah salaf, hijrah, jihat, al-islam yang sudah direbut dan diadopsi serta dikuasai oleh kelompok minhum.
Saya sendiri menandai kata-kata sunnah, hijrah, jihad, al-islam dan lain-lain sebagai milik salafi wahabi.
Terus bagaimana sikap kita sebagai warga NU untuk menghalau kelompok salafi wahabi cs? Gampang, prinsipnya ajakan apa pun dari kelompok minhum jangan percaya.
Warga +62 waspadailah setiap provokasi khawarij yang ada di sekitar kita. Cirinya dari dulu sama, disampaikan oleh para ulama NU, ulama Nusantara dan juga diceritakan oleh guru kami bahwa ciri khawarij adalah mereka di atas mimbar dakwah selalu teriak turunkan pemimpin (kalau di Indonesia Presiden). Banyak demo-demo dari para kelompok minhum atau khawarij modern dengan spanduk turunkan Jokowi dengan dibalut penggalan dalil-dalil Al-quran yang tidak utuh dan tuduhan kedzoliman.
Kalau menemui da’i yang suka teriak-teriak takbir, kemudian menjelek-jelekkan Jokowi, Kiai Agil Siradj, Gus Miftah, Gus Muwafik, dan kiai-kiai NU lainnya, Ahok serta tokoh-tokoh nasionalis jangan ikuti kajiannya. Ajak orang-orang yang dekat dengan kita untuk meninggalkan kajiannya, beri penjelasan bahwa da’i tersebut memiliki karakter khawarij.
Banyak da’i dari kelompok wahabi salafi atau kelompok minhum lainnya, mengajak jamaahnya untuk tidak hormat bendera merah putih, tidak mau menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, tidak cinta NKRI, dan jauh dari jiwa nasionalis.
Banyak orang tidak paham agama tapi mendadak jadi ustad. Cukup bermodal Al-quran terjemahan dan sedikit pengetahuan agama yang dipelajari dari internet, mereka ikut mengomentari setiap masalah agama yang sedang menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat digital.
Kemampuan mereka mengolah kata-kata dan kemampuan public speaking serta memakai kostum ala ustad membuat mereka mendapatkan tempat di hati masyarakat, khususnya masyarakat awam yang lagi semangat-semangatnya belajar agama.
Label ustad atau da’i yang diperolehnya semakin membuat da’i kaum minhum menjadi jumawa dan berlagak seperti ustad yang punya otoritas dalam memahami agama.
Pola pikir kelompok minhum adalah pola pikir yang kebolak-balik. Kalaupun mereka memiliki ilmu, ilmunya juga kebolak-balik, tidak jelas sumbernya dan cenderung hoaks.
Kelompok mereka mudah dikenali kok dari segi berpakaian. Mereka asli Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia, makan dan minum dari bumi Indonesia, menghirup udara di Indonesia, tapi mereka sudah tidak lagi mencintai budaya bangsanya sendiri. Mereka malah membanggakan budaya dari Najed Saudi Arabia, kota kelahiran Muhammad bin Abdul Wahab pendiri ajaran wahabi.
Kalau kita mau berpolitik, pegangannya adalah:
“Dawuh Habbibana Luthfi bin Yahya, dimana ada mereka maka ambillah jalan seberangnya.
Pegang baik-baik dawuh Habibana Luthfi tersebut. Panduan kita dalam mencari kebenaran terkait situasi kebangsaan dan politik :
“Jika kita ingin mengetahui kebenaran ada di mana? Maka lihatlah PKS ada di mana, kebenaran itu pasti ada di seberangnya (berlawanan dengan PKS).
Mengapa saya mengatakan PKS kok bukan yang lain, karena kelompok minhum di parlemen diwakili oleh PKS.
Wahai warga NU sadarlah, bahwa kelompok wahabi, salafi, takfiri, HTI, FPI, PKS, JI, JAD, ISIS cs adalah produsen hoax dan tipu daya.
Sejak dahulu kala, apalagi sejak Pak Jokowi jadi presiden di tahun 2014 sampai sekarang, kelompok minhum tidak pernah berubah. Mereka selalu membuat rentetan narasi ujaran kebencian, video-video hoax, caci maki, kata-kata hujatan, dan pelecehan serta penghinaan terhadap tokoh agama, kiai NU, NU dan tokoh nasionalis.
Baca Bunga Rampai Kumpulan Artikel Nurul Azizah lainnya di sini: