Penulis: Wawan Soehardi
Sabtu 18 Juni 2022
Tulisan sebelumnya: Person Atau Kelompok Khilafatul Muslimin, Seluruh Kader Hizbut Tahrir Dan Organisasi Sejenisnya Sejatinya Telah Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
Patut digaris bawahi bahwa pencabutan status kewarganegaraan Indonesia terhadap para warga negara Indonesia yang berbaiat bersumpah setia, dengan sukarela menyatakan diri bergabung, melakukan permohonan diri untuk ikut serta masuk ke dalam sistem ketatanegaraan yang berbeda dengan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu identitas yang teregister surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan serupa dengan sistem ketatanegaraan lain selain sistem ketatanegaraan Indonesia, mengikrarkan diri menyetujui bergabung dengan lambang, atribut, bendera, struktur, sistem, pangkat, jabatan dan bendera, serupa dengan sistem ketatanegaraan lain selain sistem struktur dan nomenklatur tatanegara republik indonesia, maka otomatis warga negara Indonesia tersebut otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia tanpa perlu melalui tahapan proses peradilan.
Baca: Ini Kartu Warga Khilafatul Muslimin, Mendirikan Negara dalam Negara
Kamuflase, tipu daya, taqiyyah pernyataan pihak Khilafatul Muslimin bahwa dirinya bukan bentuk dari sistem ketatanegaraan tidak bisa dijadikan acuan, karena bukti fakta lapangan yang didapatkan oleh Polri setiap warga Khilafatul Muslimin memperoleh buku saku DI/TII dan bukti lain yang mendukung, sangat gamblang jelas mengusung sistem lain di luar sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Di samping itu, struktur kementerian (termasuk Kementerian Pertahanan) yang ada dalam Khilafatul Muslimin, Hizbut Tahrir dan yang sejenisnya jelas memperlihatkan dengan sangat jelas sistem ketatanegaraan lain di luar sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Undang-undang nomer 12 tahun 2006 tentang hilangnya status kewarganegaraan Indonesia bersifat sepihak dengan penilaian tertentu yang termaktub dalam undang-undang tersebut dan bersifat mutlak, segera dan tidak bisa diganggu gugat oleh karena itulah perintah peraturan perundangannya.
Sedangkan bekas warga negara Indonesia yang bergabung dengan Khilafatul muslimin ataupun Hizbut Tahrir yang telah dicabut kewarganegaraan tersebut masih diperkenankan melakukan upaya hukum jika tidak menerima pencabutan status kewarganegaraan Indonesia.
Peraturan perundangan tersebut mengharuskan Pemerintah Indonesia harus bersifat pasif dalam hal pencabutan status WNI, namun dikarenakan atas kemauan sendiri, dengan penuh kesadaran, menerima kewarganegaraan lain seperti halnya Khilafatul Muslimin, Hizbut Tahrir atau yang sejenisnya maka Pemerintah Republik Indonesia secara otomatis harus wajib menetapkan pencabutan kewarganegaraan Indonesia bagi orang-orang tersebut demi kepastian hukum.
Pencabutan status kewarganegaraan akibat hal tersebut diatas tidak serta merta menghilangkan tindak pidana pelanggaran hukum yang dilakukan orang-orang eks Warga Negara Indonesia yang telah tercabut secara otomatis kewarganegaraannya karena pelanggaran atas Undang-Undang tersebut dilakukan ketika masih menjadi WNI dan locus delicti-nya berada di wilayah teritorial Indonesia.
Artinya warga Khilafatul Muslimin dan syabab Hizbut Tahrir masih dapat dikenakan pasal berlapis lainnya terkait dengan tindak pidana tersebut
Baca juga: Setoran Anggota Khilafatul Muslimin 10-30% dari Penghasilan dan Iuran Rp1.000 per Hari
Indonesia tidak menganut sistem dwikewarganegaraan yang artinya menuntut kesetiaan setiap warga negara kepada sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dengan demikian jika warga Khilafatul Muslimin, seluruh syabab HTI dan sejenisnya yang menyatakan sumpah setia terhadap sistem dan amirnya patut diberi status “bukan warga negara Indonesia”.
Jika nantinya menginginkan status warga negara Indonesia, mereka harus mengajukan permohonan dan wajib mengucapkan sumpah kesetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk kemudian dinilai, dipertimbangkan patut tidaknya menjadi Warga Negara Indonesia kembali.
Baca: