Seberapa Indonesia Kamu? (Seri ke-15)

Persistence is firmly sticking to something for a prolonged period of time, even as you encounter things that try to unstick you.
-Peter Hollins-

KOLOM

Roger “Joy” P. Silalahi

-Iklan-

 

Seorang anak laki-laki dikirim oleh orang tuanya dari kampungnya ke Bandung pada usia 13 tahun, waktu itu tahun 1953. Dia dititipkan di Yayasan Bala Keselamatan, sebuah rumah yatim piatu. Ini dilakukan orang tuanya bukan karena tidak mampu lagi merawat anak ini, tapi merupakan bagian dari didikan mereka bagi anaknya, agar paham bahwa banyak sekali orang yang jauh lebih tidak beruntung dibandingkan dirinya, agar paham apa itu mandiri, agar paham banyak lagi nilai lain untuk bekal hidupnya.

Tahun demi tahun anak laki-laki ini menjalani hidupnya bersama anak yatim piatu yang ada di sana.

Anak laki-laki ini tumbuh besar, melepaskan diri dari rumah yatim piatu, dan melanjutkan studinya sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bergaul dengan cukup baik, banyak temannya, termasuk dalam kelompok orang yang digemari karena kepandaiannya menyanyi dan bermain gitar, Victor Halomoan Silalahi namanya. Sekolah berlanjut ke kuliah, dan seperti kata orang luar negeri; “There’s someone for everyone…”, Victor bertemu pujaan hatinya, menikah dan dikaruniai 7 orang anak, saya anaknya yang kelima.

Sesuai dengan apa yang diketahuinya mengenai mendidik anak dari pengalaman hidupnya, demikianlah dia mendidik kami anak-anaknya. Didikan keras yang diberikan Papa pada anak-anaknya kadang terasa terlalu keras. Kami anak-anaknya tidak paham, hanya merasakan tempaan demi tempaan yang setelah besar baru kami sadari seberapa banyak yang telah diajarkannya, dan apa latar belakang dari pengajarannya.

Disiplin waktu, pengetahuan terkait berbagai hal, hingga tidak heran ketika melihat anak perempuan keluarga kami mampu mengerjakan pekerjaan yang secara umum disebut pekerjaan laki-laki dan anak laki-laki mampu mengerjakan pekerjaan perempuan. Saya paham membersihkan sayur, memotong dan membersihkan ayam dan ikan, membantu memasak sejak usia 6 tahun. Paham menjahit, strimin, kristik, ganti popok dan gurita anak bayi, sebutkan saja semua hal terkait perempuan, hanya hamil, melahirkan dan memberikan ASI yang tidak bisa saya lakukan. Semua berkat kolaborasi pendidikan yang diberikan Papa dan Mama.

Pendidikan yang diberikan tidak selalu dalam bentuk meminta kita melakukan sesuatu hal, ada kalanya Papa melakukan hal tertentu, kami hanya melihat, dan masing-masing mengambil makna dari apa yang dilihatnya sendiri-sendiri. Saya merasa beruntung, berhasil menarik beberapa nilai terkait kejujuran, kerja keras, pengakuan atas keberhasilan yang diraih, tapi juga pengakuan akan kekurangan sebagai manusia, dari satu hal yang dilakukan Papa selama berbulan-bulan. Satu hal ini akan saya ceritakan, satu hal yang bagi saya adalah hal besar dengan makna yang sangat dalam.

Setelah bosan miskin, akhirnya Papa diberi kemudahan oleh Tuhan, berhasil memajukan usahanya, maju pesat, yang kalau digambarkan dalam grafik, pastilah grafik itu membentuk garis naik dengan sudut 60 derajat ke atas. Maka rumah tetangga dibeli satu, lalu satu lagi, lalu satu lagi, lalu satu lagi, dan dirubuhkan, rata dengan tanah. Rumah baru dibangun di sebelah kanan, setengah rumah, lalu kami pindah ke kanan, sebelah kiri dibangun, lalu tingkat 2 dibangun, hingga akhirnya selesai semuanya dibangun.

Selesai dibangun bukan berarti tuntas ya, bangunannya selesai, belum ada cat nya. Diajarkannya kami anak-anaknya untuk mendempul tembok bagian dalam dan luar, saya garisbawahi, dalam dan luar. Lalu setelah itu ditunjukkannya kesalahan hasil kerja kami, dan kami diminta mengamplas dan menyempurnakan hasil kerja di bagian dalam rumah.

Kami kerjakan setiap hari, dan saat Papa pulang maka layaknya Inspektur Vijay di film India, Papa akan memeriksa hasil kerja kami, lalu mengomentari dengan sangat detail. Dempul lagi, amplas lagi, dempul lagi, amplas lagi, hingga lelah fisik dan lelah hati kami, pekerjaan tidak pernah tuntas, selalu ada salah.

Bukan hanya kami, ternyata Papa pun lelah hatinya, bagi Papa yang timbul adalah kekecewaan atas kemampuan kami anak-anaknya. Akhirnya Papa minta kami berhenti melakukannya, dan Papa melanjutkan mengerjakannya sendiri.

Pulang kerja sekitar jam 6-8 malam, Papa akan duduk sebentar, merokok dan minum kopi, lalu mengenakan out fit kerja tukang, dan mulai mendempul, mengamplas, berulang-ulang, di setiap bagian sampai tengah malam. Tangannya akan meraba hasil dempulannya, posisinya berpindah ke kiri ke kanan, melihat dari berbagai angle, jangan sampai ada yang tidak rata.

Tahu hasilnya…? Tembok itu rata, flat, seperti plat baja yang baru keluar dari pabrik, tanpa gelombang sedikitpun, tanpa sudut yang tidak sempurna sedikitpun, tanpa ada pori-pori sedikitpun. Demikian sempurnanya, hingga yang secara normal mengecat tembok 3 lapis sudah akan selesai, untuk tembok rumah kami, 7 lapis baru selesai, karena tidak ada pori-pori untuk memudahkan cat melekat pada dinding super flat dan teramplas dengan super licin.

Waktu itu saya menilainya sebagai sebuah hasil “kegilaan”, tapi sekarang saya melihatnya sebagai pendidikan. Di samping kebiasaan baik yang sulit saya ceritakan satu per satu, di luar kebiasaan menolong orang lain yang kadang membuat saya bingung, atau keberanian “stand up” untuk semua anak-anaknya dalam kasus apapun secara luar biasa, atau kemampuannya mengorbankan beberapa prinsip hidup demi anak-anaknya, saya memilih kasus dempul tembok ini untuk saya ceritakan. Karena dari kasus dempul tembok ini saya melihat kelengkapan keseluruhannya.

Papa menunjukkan bahwa kelelahan fisik bukanlah sebuah kendala, pulang kerja dilanjutkannya dengan pekerjaan lagi, melakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, lalu memeriksanya kembali, mengakui secara jujur kesalahan yang dilakukannya, memperbaikinya, lalu memeriksanya lagi, mengakui lagi, memperbaiki lagi. Papa menunjukkan bahwa  kesempurnaan hasil kerja adalah yang utama, tidak peduli apa yang harus dilalui, semua harus selesai dengan baik, berpegang pada apa yang diyakini sebagai kebenaran.

Papa memulai pekerjaannya dari bagian dalam rumah, yang di dalam lebih penting daripada apa yang tampak dari luar. Tidak perlu bagus dari luar, mentereng dari luar, bila di dalam tidak kita kejar kesempurnaan. Memang, tidak akan pernah sempurna, tapi setidaknya yang di dalam dikejar untuk menjadi baik, baru yang diluar.

Filosofi dari sebuah pekerjaan dan bagaimana pekerjaan itu Papa lakukan. Melakukan sebaik mungkin, mengakui kekurangan, memperbaikinya, dan melanjutkannya hingga semua selesai. Berpegang pada kebenaran, menanggung semua konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan, terutama pada diri sendiri. Gigih.

“Kegigihan adalah berpegang teguh pada suatu hal sekuat tenaga, walau kamu jumpai hal-hal yang mencoba menggoyahkan kebenaranmu…”

Nilai ini yang menurut saya sebenarnya adalah nilai yang sangat Indonesia. Nilai yang terutama sekarang ini penting untuk kita sadar, yang selayaknya kita terapkan dalam kehidupan kita di Indonesia, negara yang ber-Pancasila. Bagaimana kita harus berpegang teguh pada kelima sila dan semua pengejawantahannya, berpegang teguh pada konstitusi kita, melihat kesalahan kita, jujur mengakuinya, memperbaikinya, tidak peduli apapun yang menyerang dan mencoba menggoyahkannya.

Papa, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca tulisan lainnya:

Memberi dalam Kekurangan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here