Penulis: Rina ‘Na’ Kwartiana
Beberapa hari yang lalu mendadak mantan Presiden RI ke-6 mucul kehadapan publik, dan mendadak pula SBY mengkritik Pemerintah Pusat di tengah kesibukan pemerintah mengatasi pandemi wabah covid-19. Ada apakah gerangan?
Ternyata, SBY mendadak muncul karena merasa ‘gerah‘ dengan adanya Telegram yang diterbitkan oleh KAPOLRI Jenderal Pol Idham Azis dan ditandatangani Kabareskrim Polri Irjen Listyo Sigit atas nama KAPOLRI itu.
Ada 3 Telegram yang diterbitkan oleh KAPOLRI, yang pertama adalah Telegram terkait dengan perkara kejahatan siber bernomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020. Dalam telegram itu dijelaskan mengenai kemungkinan masalah yang akan timbul selama pandemi corona. Mulai dari penghinaan kepada penguasa, presiden dan pejabat pemerintah.
Kemudian telegram Nomor ST/1098/IV/HUK.7.1/2020 tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Telegram ini berisi potensi pelanggaran jika PSBB diberlakukan. Mulai dari potensi kejahatan saat arus mudik, penjarahan, kerusuhan, pencurian dengan kekerasan sampai dengan pencurian dengan pemberatan. Kemungkinan juga terkait adanya penolakan terhadap petugas atau melakukan perlawanan kepada petugas saat pembubaran warga terkait dengan PSBB ini. Juga terkait penghambatan akses penanggulangan bencana dan menolak penyelenggaraan karantina kesehatan.
Yang ketiga adalah telegram Nomor: ST/1098/IV/HUK.7.1/2020, mengenai tugas dan fungsi Reserse Kriminal dalam ketersediaan bahan pokok dan distribusinya. Disebutkan potensi masalah yang bakal timbul. Adanya pihak-pihak yang memainkan harga, menimbun kebutuhan bahan pokok, menghalangi dan menghambat jalur distribusi logistik.
Menurut SBY, telegram tentang penghinaan terhadap Presiden akan menimbulkan masalah baru. Masalah baru seperti apa sih yang SBY takutkan? Menurutnya akan kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk “mempolisikan” warga kita yang salah bicara.
Jika ditelaah, penghinaan seperti apa sih yang akan dipolisikan? Semuanya harus berdasarkan bukti-bukti dan delik aduan, tanpa ada bukti, maka laporan penghinaan itu tidak akan diproses. Jika penghinaan itu telah melampaui batas dan ada pihak-pihak tertentu yang melapokan ke polisi, barulah polisi mengambil tindakan. Jadi tak serta merta polisi dengan seenaknya menangkap orang yang salah bicara.
Yang saya lihat dimasa kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini, tak pernah sekalipun Jokowi mempolisikan mereka-mereka yang telah menghina dirinya. Bahkan dengan berbesar hati memaafkannya, padahal hinaan yang ditujukan padanya begitu kasar dan menyeramkan, seperti hendak memenggal kepalanya. Bahkan di saat pandemi covid-19 seperti sekarang pun ada yang berharap Jokowi terpapar virus itu kemudian (mauzubillah!) Meninggal dunia. Jadi sudah menjadi kewajiban pihak kepolisian untuk menjaga keamanan Kepala Negara.
Menurut saya, kekhawatiran yang ditunjukkan oleh SBY itu terlalu berlebihan. Coba kita menoleh kembali ke belakang, ke masa SBY menjabat sebagai Presiden. Ada beberapa pelaporan ke pihak yang berwajib yang dilakukan oleh SBY. Seperti saat melaporkan Zaenal Ma’arif atau saat melaporkan pengacara dari Setya Novanto dengan pasal penghinaan. Jadi tak salah kan jika saya bilang terlalu berlebihan?
Kemarin pagi saya membaca sebuah surat terbuka di laman media sosial. Surat terbuka itu dibuat oleh mantan kader partai yang didirikan SBY, dan saya benar-benar terkejut membacanya.
Secara garis besar surat terbuka itu meminta SBY untuk jadi negarawan sejati seperti almarhum BJ Habibie atau Megawati yang tidak mencampuri kebijakan SBY selama memimpin negeri ini. Penulis surat itu juga beharap SBY berkenan diam dan tidak banyak nyinyir dengan segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi.
Dalam surat terbuka itu juga ditulis tentang perbandingan antara SBY dan Jokowi, dari berbagai macam sisi dalam hal keberhasilan. Membeberkan dengan gamblang kader-kader partai yang terlibat korupsi.
Mantan kader partai itu mengajak SBY untuk banyak belajar tentang kesabaran, ketegaran, kesederhanaan, keikhlasan serta kebijaksanaan pada Presiden Jokowi. Tidak gampang terbawa perasaan lalu ngamuk tak karuan saat ada netizen yang membully anaknya, AHY, padahal justru AHY yang mulai terlebih dahulu membully Jokowi sesaat setelah diangkat menjadi Ketum partai tersebut.
Jadi alangkah baik dan bijaksananya jika SBY mengikuti apa kata mantan kader partai itu. Belajar tentang kesabaran, ketegaran, serta berkenan diam dan tidak banyak nyinyir dengan segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi. Biarkan Jokowi menyelesaikan tugasnya, karena mengkritik dan nyinyir saat ini bukan waktu yang tepat pak.