Penulis: Erri Subakti
Pintu kamar terbuka, belakangan Jess mengetahui ia terbaring di kamar ICCU VIP, seorang dokter berpakaian putih, berkulit gelap, dengan wajah khas dari etnis India menghampiri. Jess berusaha untuk tersenyum tapi bibirnya tidak bergerak. Datar.
“Hi, good morning beautiful lady,” ucap sang dokter.
Namun tentu saja Jess tak mampu menjawabnya. Hanya ayahnya yang menanggapi sang dokter. Mereka berdua kemudian terlibat pembicaraan serius tentang kondisi Jess. Ibu dan kedua anak Jess tetap berada di sisi kiri tubuh Jess dan berusaha menghiburnya.
“Dok, bagaimana keadaan anak saya? Keadaaan otaknya bagaimana?” tanya ayahku.
“Ya, dia terserang stroke berat (heavy stroke). Pembuluh darah otak kirinya pecah, dan darah merendam otak kirinya,” jawab dokter itu.
“Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah kepala puteri saya harus dibuka untuk menyerap darah tersebut?” tanya ayahku lagi.
“Not necessary, sir,” jawab dokter India itu.
Ia melanjutkan, “Ternyata tiba-tiba pendarahannya sudah berhenti. Otak itu akan menyerap sendiri darah tersebut sehingga tidak harus membuka rongga kepalanya.”
Jawab sang dokter yang belakangan diketahui Jess bernama Dr. Gandhi.
Dokter itu menjelaskan kemudian, “Dengan keadaannya seperti ini, dimana otak kirinya telah terendam darah sebanyak 20%, maaf kami harus memberitahukan kepada keluarga bahwa puteri Anda tidak bisa sembuh, dan hanya bisa berbaring seperti ini saja, entah sampai kapan….”
Jess tersentak dengan penjelasan Dr. Gandhi. Meski ia tak mampu menggerakkan 90% tubuhnya, ia masih bisa menyimak dan memahami kata-kata semua orang.
Hati Jess berontak mendengar penjelasan dari Dr. Gandhi bahwa dirinya tak bisa sembuh. Ia ingin menimpali kata-kata Dr. Gandhi. Mulutnya terbuka dan Jess bersuara namun suara yang keluar terdengar aneh seperti suara alien.
Otaknya dengan jelas mengatakan, “Dok? Aku tidak bisa terima dikatakan tidak bisa sembuh!”
“Tidak! Aku akan sembuh. Jika aku masih hidup di dunia ini berarti Tuhan masih punya rencana untukku. Tuhan masih punya tugas untukku yang belum selesai. Ada 2 orang anakku yang harus aku hidupi,” Jess protes keras dalam benaknya.
“Aku mau sembuh. Harus sembuh!”
Suara Jess dengan kata-kata yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun mengagetkan semua orang di ruangan itu.
Dokter Gandhi mencoba menenangkannya. Ia sadar bahwa pasiennya mengerti semua apa yang baru saja ia katakan. Orang tua Jess dan anak-anak juga ikut menenangkan Jess yang nyerocos dengan bahasa yang tidak dapat mereka mengerti satu kata pun.
Sesaat Jess akhirnya tenang. Ia melihat wajah ayah dan ibunya. Ada kesedihan dan kegalauan yang teramat sangat. Mereka berdiam diri beberapa saat, dan Dr. Gandhi memberi mereka waktu untuk mencerna penjelasannya.
Tak lama Dr. Gandhi menunjukkan video hasil MRI otak Jess di sebuah monitor di depan ranjang tempat Jess terbaring. Doker Gandhi menjelaskan di gambar ada noktah besar berwarna putih di dalam kepala Jess. Dokter mengatakan itu adalah darah kental yang merendam otak kiri Jess.
Irisan-irisan otak Jess secara virtual, terpampang di depannya. Kedua orang tua Jess serius mendengarkan paparan dokter Gandhi. Sementara Jess tetap diam seribu bahasa. Anak-anak Jess belum mengerti apapun. Mereka tenang menyikapinya, dan tetap berada di sisi kiri Jess. Tangan kiri Jess semakin lancar bergerak ke atas untuk menggapai anak-anaknya.
Dokter Gandhi mengatakan bahwa Jess akan segera diterapi dengan berbagai metode. Jess harus belajar minum, bergerak, bahkan Jess pun harus belajar buang air kecil.
Seorang Jessica yang gesit, tangguh, dan trengginas tiba-tiba menjadi seperti bayi lagi. Segala hal sesepele apapun ia harus belajar lagi, dari mulai belajar minum, menelan, bicara, bergerak hingga buang air.
Setelah Dokter Gandhi keluar dari kamar, datang seorang suster membawa 1 gelas dengan isi air mineral, serta semangkok es krim.
“Untukku? Kok es krim?” pikir Jess.
Suster itu tersenyum kepada Jess.
“Good morning, mam. Lets go to have breakfast,” kata suster itu.
Dia membantu Jess untuk menegakkan kepala dengan mengubah sisi atas tempat tidurnya menjadi lebih tegak.
Seiring perubahan posisi tidur Jess menjadi lebih tegak, kepala Jess langsung berputar-putar. Jess memejamkan matanya. Sejenak Jess merasakan denyut-denyut di otaknya. Semakin lama otaknya semakin berdenyut.
“Ah, Tuhan…, kepalaku sakit sekali…,” itu yang dirasakan Jess.
Jess serasa tersedot. Otaknya seakan menyedot jiwanya. Nyut… nyut… nyut…, dan perlahan denyutan itu mulai mengendur. Lalu berhenti.
“Beginikah rasanya seseorang yang terserang stroke? Benar, sakit sekali….”
Agak lama mata Jess tertutup, suster itu sabar menanti. Anak-anak Jess sepertinya juga bingung dengan sikap Jess, dan orang tua Jess semakin khawatir. Jess tidak bisa mengeluh, mengatakan apa yang ia rasakan karena ia tidak bisa berbicara.
Hanya wajah Jess yang penuh kerutan, mereka tahu, ada yang tidak beres yang dirasakan di dalam kepala Jess.
Setelah sudah tidak terlalu sakit dengan denyutan di otaknya, Jess membuka matanya. Tenang lagi. Mata Jess melirik ke kanan dan kiri. Mendadak mulut Jess mampu tersenyum. Kerak-kerak di mulutnya yang sempat tidak bisa bergerak, luruh. Jess bisa tersenyum. Ia tersenyum lebar kepada semua orang. Anak-anaknya pun senang. Mereka berebutan memeluk ibunya. Jess mulai merasakan bahagia.
Perlahan, satu demi satu, tubuh Jess mampu merespon untuk hidup kembali. Tangan kiri Jess sudah bisa bergerak mencoba menggapai wajah anak-anaknya. Sebuah kemajuan. Jess mampu bersuara meski dengan kata-kata seperti alien. Kemajuan lainnya adalah Jess mampu mengerti kata-kata dalam bahasa Inggris, walau tidak mampu menjawab.
“Terimakasih Tuhan. Walau aku bukan seseorang yang relijius, aku mengerti dan yakin bahwa Tuhan selalu berada di sisiku dan menolong dengan cara-Mu,” Jess mensyukuri kemajuan kondisinya.
Suster itu bergerak mendekat ke arah Jess ketika dia melihat Jess sudah tidak lagi merasa sakit di kepala. Ayah dan ibu Jess pun mendekat. Anak-anaknya hanya menatapi ibunya.
Suster itu mendekatkan gelas yang berisi air mineral, dan meminta Jess membuka mulutnya.
“Aaaaaa….”
Sesendok kecil air mineral dimasukkan ke mulut Jess dan ia menelan. Tepatnya, berusaha menelan.
Ternyata Jess sangat kesulitan untuk hanya menelan air. Ia sampai menyipitkan mata untuk menelan, susah. Saat akhirnya air itu bisa tertelan, tiba-tiba dada Jess terasa panas sekali.
Tangan kiri Jess yang sudah bisa bergerak, memegang dada. Jess mengkeret seperti agak terbungkuk. Ia merasa sangat kesakitan.
“Ya, Tuhanku…, mengapa aku tidak bisa menelan?” bathinnya sedih.
Cukup lama Jess menahan sakit karena berusaha untuk menelan hanya sesendok kecil air. Ia mengeluarkan suara-suara mengeluh, membuat mereka yang berada di sekelilingnya cemas dengan keadaannya.
Muncul rasa takut dalam diri Jess. Dadanya terasa sangat panas, dan semakin panas. Sakit sekali ia rasakan.
Matanya berair menahan nyeri, dan suara-suara alien itu terus keluar dari mulutnya.
Kedua anak Jess ketakutan, mereka dipeluk oleh kedua orang tua Jess
“Arrghhh….”
Suara-suara keluh kesakitan Jess menggema di kamar itu. Sakit di dada hanya karena mencoba menelan sesendok air, benar-benar membuat Jess tidak berdaya. Ia seperti kembali terhisap dalam lorong antara hidup dan mati. Kesakitan itu bagai menyedot jiwa dan raganya.
Cukup lama Jess menenangkan diri menanti nyeri mereda. Dan setelah dadanya sudah membaik, suster itu meminta Jess membuka mulutnya lagi, untuk memasukkan air kembali.
Jess ketakutan. Sempat ada rasa penolakan dari dalam hati Jess. Ia tidak mau mengulang sakit di dadanya.
Jess menguatkan diri. Ia coba untuk menyadari bahwa dirinya harus melakukan itu. Ini adalah salah satu bentuk terapi minum. Jika tidak diterapi, dirinya benar-benar hanya bisa berbaring saja di atas ranjang bahkan minum saja tidak bisa.
Ini baru satu “pelajaran” sepele yang sangat mudah pada saat dirinya masih normal. Bahkan tak perlu belajar. Namun begitu sulit dan sakitnya sekarang. Belum lagi, ia harus belajar makan, belajar bergerak, bahkan belajar buang air.
“OK-lah, aku akan terapi minum lagi,” pikirnya.
Jess membuka matanya, lalu ia buka mulutnya. Hatinya berdegup, siap merasakan rasa kesakitan besar di dalam dada. Dan, ketika air masuk ke mulutnya, Jess berusaha untuk menelannya.
Sekali lagi, Jess tetap susah menelan, dan begitu air mineral itu berhasil tertelan, kesakitan itu langsung menyambutnya lagi.
Sakiiit… sekaliii….
Tubuh Jess mengkeret agak terbungkuk lagi. Orang tua Jess memeluknya, air mata mereka menggenang di sudut-sudut mata mereka. Bahkan anaknya menangis tersedu, melihat bagaimana Jess berjuang untuk hidup.
Bersambung.
Baca dari awal: