Penulis: Nurul Azizah
Tulisan ini penulis sarikan dari berbagai sumber bacaan dan pengalaman penulis selama ibadah di tanah suci Mekkah. Tulisan berupa renungan untuk hidup lebih ikhlas menerima takdir Allah. Semoga bisa kita ambil hikmahnya.
Saat ini semua mata tertuju pada jutaan umat muslim dunia yang sedang menjalankan ritual ibadah haji, di tanah suci Mekkah Arab Saudi.
Rangkain ibadah haji pada intinya tapak tilas apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Istrinya Siti Hajar dan putranya Ismail.
Rangkaian ibadah haji yang penulis maksud adalah Sa’i, perjalanan (lari-lari kecil) dari bukit Shafa menuju ke bukit Marwah.
Keikhlasan dalam hal ini penulis awali dengan kisah Siti Hajar beserta bayi Ismail ditinggal Nabi Ibrahim di lahan tandus tak berpenghuni.
Tentunya Siti Hajar protes, mengapa suaminya meninggalkan dia dan Ismail anaknya yang masih bayi di padang pasir yang tak bertuan, gersang, panas dan tidak ada satupun rumah penduduk. Siti Hajar dan bayi Ismail dibawa di lokasi yang ada pohon Daulah. Dengan berbekal tempat makanan berisi kurma dan gentong berisi air.
Seperti pada umumnya perempuan, Siti Hajar hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberinya putra. Sehingga Siti Hajar dan bayi Ismail harus dibawa jauh ke luar tempat tinggal mereka.
Perjalanan mereka menuju tempat yang gersang dan tidak berpenghuni. Mereka berjalan kaki menuju tempat yang asing bagi Siti Hajar. Ketika sampai di suatu tempat (sekarang tempat di sekitar masjidil haram), Siti Hajar dan bayi Ismail di tinggal sendiri.
Tatkala Nabi Ibrahim berniat pergi meninggalkan Siti Hajar dan Ismail, Siti Hajar mengikutinya.
Hajar mengejar Nabi Ibrahim AS, suaminya, dan berteriak :
“Mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini, bagaimana kami bisa bertahan hidup?”
“Hai Ibrahim, kau hendak ke mana? Engkau meninggalkan kami di lembah tandus, tiada teman atau apa pun?
Nabi Ibrahim AS terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, Ibrahim tak bergeming, Memandang Siti Hajarpun tidak, seakan-akan cuek. Namun sebenarnya hati Ibrahim tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam, dia terus berjalan tanpa memperlihatkan air matanya yang basah dan meleleh.
Hatinya remuk redam perasaannya koyak, karena harus memilih antara pengabdian dan pembiaran. Mengabdi melaksanakan perintah Allah atau membiarkan Istri dan anaknya tinggal sendirian di bukit yang tandus.
Hajar masih terus mengejar sambil menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.
“Apakah ini Perintah Tuhanmu?”
Kali ini Nabi Ibrahim AS, Sang Kholilullah, berhenti melangkah.
Dunia seolah berhenti berputar.
Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Nabi Ibrahim AS.
Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seakan berhenti mendesah.
Pertanyaan atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semuanya terkesiap.
Nabi Ibrahim AS membalikkan badan secara sigap, dan berkata “benar,” jawab Ibrahim.
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam.
Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semua Malaikat, butir pasir dan angin.
“Jikalau ini perintah Tuhanmu, pergilah, tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir. Allah Ta’ala akan menjaga kami,” kata Hajar dengan penuh kepasrahan.
Nabi Ibrahim AS pun beranjak pergi. Dilema itupun punah sudah.
Kemudian Siti Hajar pergi ke tempat semula yang ditunjuk Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanan meninggalkan anak dan istrinya.
Di bukit yang tandus, tinggal Siti Hajar dan bayi Ismail. Suatu ketika Siti Hajar menyusui Ismail. Karena tidak ada yang dimakan, maka air susu Hajar mengering. Sementara gentong tempat air juga sudah mengering. Siti Hajar kehausan, demikian juga Ismail.
Bayi Ismail menangis minta air, si kecil itu berguling-guling menangis kehausan. Siti Hajar tidak tega melihat anaknya kehausan.
Maka beranjaklah Hajar ke bukit Shafa, tempat yang paling dekat darinya. Dia berdiri di puncaknya sambil mengarahkan pandangannya ke lembah dengan harapan melihat seseorang. Namun satupun tak terlihat. Kemudian dia turun, melewati lembah tersebut dengan menyingsingkan kain lalu berjalan seperti orang tergesa-gesa, jalan biasa, kemudian lari-lari kecil melintasi lembah tersebut hingga menuju bukit Marwah. Sesampainya di bukit Marwah dia mencari seseorang, tapi tidak ditemukan satupun, sepi.
Siti Hajar mencari bantuan dan mencari air dari bukit Shafa ke bukit Marwah sampai tuju kali.
Tiba-tiba dia melihat Malaikat. Malaikat itu menggali tanah dengan tumitnya atau dengan sayapnya sehingga muncullah air. Maka Hajarpun mulai membendung air dengan tangannya. Dia menciduk air ditaruh di gentong, sumber air itu terus menyembur setelah diciduk.
Siti Hajar minum lalu menyusui anaknya. Malaikat berkata, “Kamu jangan kuwatir akan disia-siakan karena di sana ada Baitullah yang akan dibangun kembali oleh anak ini dan bapaknya. Dan bahwa Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.”
Singkat cerita Nabi Ibrahim kembali menemui Siti Hajar dan Ismail. Nabi Ibrahim dan Ismail kemudian membangun Baitullah.
Nabi Ibrahim pun menghadapkan wajahnya ke Baitullah seraya mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak memiliki pepohonan, yaitu di sisi Rumah-Mu yang suci. Mudah-mudahan mereka berterima kasih.”
Ibnu Abbas berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “oleh karena itulah manusia bersa’i antara keduanya (dari bukit Shafa menuju ke bukit Marwa).”
Peristiwa Siti Hajar dan Nabi Ibrahim AS adalah Romantisme Keberkahan.
Itulah Ikhlas.
Ikhlas adalah Kepasrahan, bukan mengalah apalagi menyerah kalah.
Ikhlas itu adalah ketika engkau sanggup berlari melawan dan mengejar, namun engkau memilih patuh dan tunduk.
Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain, tapi ikhlas menerima atas kehendak Allah SWT.
“Belum cukupkah engkau memahami apa itu ikhlas dari perginya Nabi Ibrahim AS dan diamnya Hajar?”
Wallaahu A’lam
Semoga kita menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat bagi sesama.
SELAMAT menyambut Hari Raya Iedul Adha. Mohon maaf lahir dan batin.🕋👏
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi” dan “Muslimat NU Militan untuk NKRI.”