Penulis: Dahono Prasetyo
Kinerja Kejaksaan sedang diuji profesionalitasnya terkait pengungkapan mafia migor. Issue bola liar yang berkembang dari media dan para politikus tidak tidak bisa dihindarkan. Pernyataan Masinton Pasaribu yang mengaku memiliki data informasi kasus korupsi izin ekspor CPO, untuk mendanai wacana penundaan Pemilu 2024 sarat bernuansa politik.
Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan komitmennya untuk tidak terseret ke ranah issue politik. Prinsip “hukum adalah membaca” bukan berandai-andai apalagi beropini, menjadi dasar penegakan hukum Kejaksaan. Data dan fakta dibaca, otentik bisa dibuktikan kebenarannya yang bersumber dari siapapun menjadi masukan berharga.
Mafia migor dan issue dana penundaan Pemilu berada di luar ranah kasus. Memaksakannya masuk dalam ranah penyidikan akan melahirkan argumentasi politik yang multi interpretasi. Berkutat pada tuduhan-tuduhan yang justru menjauh dari esensi dugaan tindak korupsi itu sendiri.
Bayangkan jika kemudian Kejaksaan memanggil petinggi Partai yang pernah melontarkan issue Pemilu. Kemudian mengaudit sumber dana, lalu menghubungkannya dengan aksi demo, dan berlanjut dengan memanggil korlap aksi sekedar menanyakan nasi bungkus kemarin dibeli dari uang korupsi minyak goreng atau bukan. Konyol bukan?
Sebagai klaim pemegang data valid, Masinton seharusnya bisa memilah mana urusan politik dan hukum. Rumor politik meskipun disertai data tetap sebuah kontroversi. Menjatuhkan lawan politik dengan meminjam tangan Kejaksaan justru akan menambah persoalan baru.
Kejaksaan itu institusi penegak hukum, bukan “detektif politik atau satgas Parpol.”
Saran saya sebagai sesama warga negara, selesaikan urusan politik di ruang argumentasi dialogis, bukan mengajak Kejaksaan ikut tawuran.
Gitu aja sih….
Baca juga: