Gesture politik tidak bisa ditutupi bahwa mereka sedang merencanakan koalisi besar menuju Pilpres 2024. Dua sosok sentral pengatur irama politik di Republik ini berusaha mempertahankan kekuasaan yang selama 2 periode dipercayakan kepada seorang “Petugas Partai”.
KOLOM
OPINI
Dahono Prasetyo
Mereka berada di kelas elite politik yang sedang memainkan strategi, bagaimana peran serta masyarakat hanya menjadi pelengkap demokrasi. Siapapun yang menjadi pemimpin 2024 adalah hasil kesepakatan mereka berdua. Menyikapi siapa calon lawan, menggerakkan mesin partai, berbagi tugas dan strategi.
Sebagai partai besar yang sedang berkuasa, mereka sudah paham apa yang harus dilakukan, termasuk mengantisipasi fenomena euforia Ganjar yang belakangan ini lumayan mengusik susunan langkah catur mereka. Ganjar yang diam penurut justru dianggap duri dalam daging. Dukungan massa akar rumput Pro Ganjar menyalip di tikungan bernama elektabilitas.
Yang kemudian terjadi memaksa mereka untuk merubah strategi. Antusias massa relawan dibalas dengan mengabarkan kekuatan koalisi yang sedang mereka lakukan. Dari yang sebelumnya diam-diam menjadi vulgar. Seolah berkata: “Hey euforia Ganjar, inilah kami berdua yang harus kalian hadapi”.
Ganjar menjadi alasan mereka bersatu, membatu berkeras niat.
Pemanggilan “Pacul” perihal bocornya rekaman suara iklan teh botol Sosro punya implikasi 2 hal. Yang pertama, Megawati marah anaknya disamakan teh botol gara-gara Ganjar. Atau (kedua) mereka justru sedang mengatur barisan menyusun strategi lain. Memanggil Pacul, Puan dan para petinggi lain di tengah pusaran konflik internal partai tanpa mengikut sertakan Ganjar sebagai “biang keladi” kegelisahan mereka, menyiratkan tanda tanya besar.
Ibarat seorang ibu yang tahu anak anaknya sedang berseteru, lalu mendamaikan mereka dengan cara memanggilnya. Ganjar sengaja tidak ikut dipanggil. Bisa jadi dia dianggap “anak tiri”, atau Ganjar dianggap sudah diadopsi anak oleh netizen dan rakyat meskipun sertifikat hak milik masih beralamat di kandang banteng?
Konflik internal partai akan terus terjadi, lawan politik PDIP bertepuk tangan atas potensi perpecahan suara dukungan.
Relawan Pro Ganjar tumbuh bak nyamuk di musim hujan. Di mana ada “genangan” tumbuh “jentik-jentik” pos relawan.
Sementara Nasdem tak kalah menebar pesona, siap meminang Ganjar seandainya terbuang dari PDIP. Strategi cerdas meski rada maksa kalau tidak mau dibilang mustahil.
Harus diakui, koalisi 2 partai PDIP – GERINDRA siapapun akan minder dengan kebesaran massa dukungannya. Siapapun paslon yang diusung “dua sejoli” itu berpotensi besar memenangkan kursi sepeninggalan Jokowi. Belum tentu formasi Prabowo-Puan, Anies-Puan, Andhika-Puan atas nama-nama lain yang dipasangkan dengan Puan sebagai “teh botolnya”. Tetapi inilah tahun tarik-ulur politik. Apa berkoalisi dengan apa, yang di sana tarik ke sini, yang di sini ulur ke sana persis bermain layang-layang.
Tahun berikutnya saat paket paslon sudah cocok tinggal negosiasi untung rugi di tahun 2022.
Selanjutnya 2023 menjadi tahun konsensus politik, berbagi kepentingan dan tugas suksesi. Hingga 2024 tinggal menyisakan seremonial bernama Pemilu yang sudah selesai dengan hasilnya sebelum TPS dibangun.
Artinya, jika mau memperjuangkan siapa pengganti Jokowi, sekaranglah saatnya. Kalau nanti saja masih lama nunggu 2024 maka kita sudah ketinggalan strategi, kalah start dan yang pasti enak nggak enak stok paslon cuma ada itu dengan segala alasan dan konspirasinya.
Dimanakah posisi Ganjar? Dia berada di tengah pusaran banyak kepentingan termasuk kepentingan para relawan. Euforia fenomena relawan tidak akan menjadi daya tawar yang tinggi kepada para elit jika hanya berisik di medsos dan semangat di WAG.
Relawan tanpa deklarasi ibarat Dilan memacari Milea tapi nggak nembak-nembak. Dan pada akhirnya pemimpin yang terpilih bukan hasil seleksi yang terbaik, tapi siapa yang terkuat.