Penulis: Erri Subakti
Indonesia pernah mencapai partisipasi Pemilu yang tinggi 5 tahun lalu di tahun 2019.
Partisipasi pemilih di Pemilu serentak 2019 sangat tinggi, yakni mencapai 80,90 %. Lebih tinggi dari target KPU, 77,5%.
Lima tahun berselang, pada Pemilu dan Pilpres 2024 lalu, yang rusak diawali oleh Putusan MK yang terbukti paman hakim fufufafa melanggar kode etik berat, juga Ketua KPU yang berulang kali melakukan tindakan anomali yang juga terbukti melanggar etik berat, ditambah guyuran bansos yang abrakadabra, sirekap yang bermasalah, hancur sudah kepercayaan publik terhadap politik dan kontestasi calon pemimpin.
Rusaknya Demokrasi Indonesia kini terbukti dengan rendahnya partisipasi politik para pemilik hak pilih.
Golput di Jakarta mencapai angka 42%, berdasarkan Litbang Kompas.
Kompas juga melaporkan banyaknya warga masyarakat yang mempunyai hak pilih enggan berpartisipasi karena skeptis dengan sistem pemilihan dan calon pemimpinnya.
Berikut alasan-alasannya:
1. Tidak merasakan perubahan berarti setelah Pilkada
“Ya percuma gue milih juga kalau istilah kasarnya, rakyat enggak diperhatiin juga. Begini-begini juga, ya ngapain milih?”
(Tio, 37 tahun, Rawa Belong, Jakarta Barat)
2. Calon pemimpin yang rajin blusukan (bertemu warga saat kampanye), tapi tidak memberikan perhatian setelah terpilih.
“Jangan lu mau jadi pemimpin, lu blusukan, tapi udahannya ya udah begitu,” kata Tio dikutip Kompas.com
3. Skeptis terhadap hasil Pilkada
“Gue agak hopeless karena belajar dari Pemilu yang kemaren.” (Tiara, 23 tahun, Tebet, Jakarta Selatan)
4. Kecewa dengan pengalaman Pemilu sebelumnya yang tidak transparan.
“Apapun yang gue pilih tuh pasti bakal dicurangi,” kata Tiara dikutip dari Kompas.com
Quick count Litbang Kompas mencatat angka golput tertinggi di Pulau Jawa sebagai berikut:
- Jakarta, golput 42,07 persen
- Jawa Barat, golput 33,66 persen
- Jawa Timur, golput 30,15 persen
- Jawa Tengah, golput 26,44 persen.