Penulis: Erri Subakti
SintesaNews.com – Dua puluh empat tahun sudah, rumah dalam foto di atas terbengkalai sejak dibakar massa pada kerusuhan Mei 1998. Saat ini tanggal 3 Maret 2022 ketika foto diambil, rumah Liem Sioe Liong sama sekali tidak terlihat akan dipugar atau direnovasi oleh anak-cucunya. Dibiarkan terlantar selama 24 tahun.
Berlokasi di Jalan Angkasa yang strategis pada masa Orde Baru ketika Bandara International masih berada di Kemayoran, rumah Liem Sioe Liong atau Sudono Salim dekat dengan istana kepresidenan dan sepelemparan batu dari bandara.
Menurut saksi mata yang tak mau disebut namanya, yang melihat tragedi 98 di lokasi rumah Liem, “Saya lihat dibakarnya nih rumah punya keluarga Liem. Saya lihat lukisan Liem Sioe Liong sama Soeharto gede banget dibakar massa. Rumahnya dan kantor-kantor di depannya dijarah massa.”
“Sampai sekaranh gak dibangun, jadi sarang jurig korban palang pintu kereta, yang sekarang sudah ditutup. Dulu langganan laka lantas kereta api,” tambahnya.
Kendati 24 tahun tak terurus, bangunan rumah nampak masih kokoh berdiri temboknya, yang tebal dan kuat konstruksinya. Tebal dan kokoh beton temboknya tidak saja untuk membuat bangunan ini tahan lama, juga untuk mengedapkan suara bising dari luar, jalan raya, terlebih letaknya persis dekat rel yang saban saat melintas kereta api.
Siapa Sudono Salim?
Liem sioe Liong merupakan salah satu konglomerat yang dekat dengan Soeharto. Bisnisnya menggurita. Bahkan meski krisis ekokomi juga mengguncang sejumlah perusahaan miliknya, Tahun 2004 ia bahkan masuk sebagai salah satu dari 25 orang terkaya di Asia Tenggara, menurut Forbes.
Awal mula kariernya, Liem meninggalkan Fujian, China pada 1936 dengan tujuan Medan, Sumatera Utara. Ia bergabung dengan saudaranya, Liem Sioe Hie dan saudara iparnya Zheng Xusheng di sana.
Liem kemudian memulai usaha perdagangan minyak kacang ke pasar cengkeh, yang ternyata sangat berkembang dengan cepat karena banyak permintaan untuk produksi rokok kretek.
Pada 1952, Salim memperluas bisnis perdagangannya yang merangkul koneksinya dengan pengusaha etnis China di Singapura dan Hong Kong. Pabrik sabun yang dimilikinya, menjadi salah satu pemasok utama untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Liem lalu memperluas bidang usahanya ke sektor tekstil dan perbankan, sehingga dia akhirnya mendirikan bank swasta terbesar di Indonesia, Bank Central Asia. Setelah merger pada 1968, dia mendapatkan hak untuk monopoli impor cengkeh.
Selain itu, taipan kelahiran 10 September 1915 ini membentuk joint venture dengan pebisnis Hockia membangun perusahaan tepung terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan ini membantunya meraup modal untuk membangun perusahaan semen raksasa Indocement pada 1973. Serta pada 1990 dia mendirikan perusahaan produsen makanan Indofood.
Kemudian, Salim menyerahkan singgasana kepemimpinannya Salim Group pada konglomerat yang notabene anaknya sendiri, Anthony Salim dan Harlim Exstrada pada 1992.
Puncak kesuksesannya, sekitar tahun 1996, mulai dari bank (BCA), semen (Indocement), pengolahan tepung (Bogasari), hingga makanan (Indofood), bahkan perusahaan mi instan miliknya telah mengalahkan sang produsen instan, Nissin Food.
Dekat dengan Soeharto Kesuksesan Liem tak dapat dilepaskan dari pertemanan dan patronasenya dengan Presiden RI saat itu, Soeharto. Berkat perlindungan yang diberikan Soeharto, Liem mendapatkan perlakuan istimewa berbisnis di Indonesia. Tentu saja, hal itu menuntut imbalan, yakni dalam bentuk saham dan sumbangan kepada yayasan-yayasan yang dinaungi Soeharto.
Perkenalan Liem dengan Soeharto dimulai saat Liem memasok kebutuhan tentara di bawah komando Soeharto. Hal itu berlanjut saat Soeharto menjadi komandan divisi di Semarang tahun 1956, bahkan berkembang setelah Soeharto menjadi presiden. Liem menjaga pertemanan dengan Soeharto hingga masa tuanya.
Pada 1997, Grup Salim tercatat memiliki harta kekayaan sebesar USD20 miliar dan termasuk perusahaan yang membuka lapangan kerja untuk 200 ribu orang.
Saat terkena krisis ekonomi pada 1998, Liem pun harus merogoh koceknya sebesar USD4,8 miliar untuk membayar utangnya. Saat itu, Salim pun terbang ke Singapura untuk menghindari kerusuhan 1998. Sang anak, Anthony, kemudian membangkitkan kembali usaha sang ayah hingga kini. Anthony tercatat juga sebagai orang terkaya di Indonesia.
Liem tak pernah mengenyam pendidikan tinggi formal, pendidikannya alakadarnya. Bahkan, tidak fasih berbahasa asing. Liem hanya sempat mendapatkan pendidikan informal dari seorang guru yang diundang ke desanya.
Liem menikahi Liliani alias Lie Las Nio. Mereka dikaruniai empat anak, tiga laki-laki dan seorang perempuan, yakni Albert Halim, Andre Halim, Anthony Salim, dan Mira Halim. Frangky menantu Om Liem dari putri bungsu, Mira Halim.
Liem meninggal dunia pada 10 Juli 2012 di Singapura.
Salah satu anak Liem yang membangkitkan kerajaan bisnisnya, Anthony Salim, tercatat sebagai orang terkaya ke-4 di Indonesia di tahun 2020 dengan total kekayaan US$ 5,9 miliar atau Rp 86 triliun (kurs Rp 14.500/US$).
Kekayaan Anthony Salim tersebar di dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri tercatat lebih dari selusin saham yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dikuasai oleh kendaraan bisnis Salim atau bahkan penguasaan langsung oleh sang bos Anthony Salim.
Dengan kekayaan yang fantastis itu anak-anaknya hingga kini belum berniat kembali memugar bangunan rumah peninggalan ayahnya. Atau mau dihibahkan saja?