Penulis: Dahono Prasetyo
Kasus Miftah mereda ganti Aguan naik daun. Beda “dunia” namun cukup membuat random pikiran netijzen. Bak drama di dunia online, sesuatu yang viral otomatis menutup viral sebelumnya, sedikit lupa atau malah menganggap viral terbaru lebih dahsyat dari sebelumnya.
Kurang viral apa Fufufafa sampe tiba-tiba redup oleh kelakuan Miftah pada Sunhaji dan Yati Pesek. Apa yang kurang dari pencitraan IKN sampai bos Agung Sedayu membumi hanguskan make-up tentang sebuah penciptaan Ibu Kota baru.
Proyek Strategis Nasional yang kabarnya diuber-uber ratusan investor luar negeri dibangun dengan cara menumbalkan investor kampung sendiri. Aguan tidak tekor apalagi bangkrut, cuma sedang curhat bisnisnya tersandera kepentingan politik.
Dari kasus dua “kecelakaan “ pernyataan yang viral dan beriringan itu, tidak-kah kita berpikir tentang satu teori “gali lubang tutup lubang?”.
Tentang lubang bernama Partai Coklat yang coba ditimbun oleh galian lubang baru Miftah dan Aguan.
Ini menjadi aksi menutup bau busuk di lubang ParCok yang terus menganga, ditutup apapun aromanya masih sexy tercium tersebar. Lalu Seberapa pentingnya menutup bau busuk di ParCok? Yang pasti dari sanalah separuh “ketakutan” di republik ini berawal. Separuhnya lagi dari Gedung Bundar.
Saking acaknya perasaan publik, ibarat saat naik kendaraan di depan ada kerumunan razia. Mendadak dada deg-degan mendesak kepala, namun ada 2 rasa: takut atau cinta?
Menikmati hidup di negeri yang menjadikan politik sebagai panglima tertinggi memang tidak semudah nge-fans Mulyono. Tentang seorang tokoh yang kemunculannya dari gorong-gorong bisa mengubah rasa cinta menjadi muak, begitu pula sebaliknya yang semula tidak suka menjadi cinta mati.
@Dahono Prasetyo