Ririn

“There are people in our lives who are like angels to us.”
– Catherine Pulsifer-

KOLOM

Roger “Joy” P. Silalahi

 

-Iklan-

 

Semua punya pengalaman menarik dalam hidupnya, semua punya kenangan manis dalam hidupnya. Kadang kenangan manis berjalan seiring kenangan pahit, kadang kenangan manis berjalan seiring dengan bukti kebodohan kita.

Kali ini saya akan bercerita mengenai kebodohan saya, dan bagaimana saya merisikokan diri tanpa paham risiko yang saya jalani, tanpa rasa takut mengambil langkah bodoh, tapi tertolong kebaikan orang lain.

Waktu itu saya kelas 3 SD, sesuai aturan rumah, saya harus belajar setiap hari minimal 1 jam, dimana kemudian apa yang saya pelajari akan di-review dan di-test oleh Mama. Suatu hari, saya setelah bangun tidur siang langsung kabur keluar rumah dan main. Mama lagi sibuk urus rumah yang berantakan waktu itu. Saya baru kembali setelah menjelang jam 6 sore, dan begitu melihat muka saya, Mama langsung sadar, anak ini belum belajar hari ini. Maka saya disuruh mandi, saya paling susah mandi karena air di Bandung masa itu seperti air es. Setelah mandi, sudah hampir jam 6, jam 6:30 sudah harus persiapan makan malam, jadi Mama panggil saya dan bilang; “Selesai makan malam, kamu harus belajar 1 jam, baru boleh tidur…”, saya mengangguk sebal karena harus belajar.

Selesai makan, persiapan tidur, 7:30 sudah pakai piyama, siap tidur, berharap Mama lupa saya harus belajar. Tapi Mama tidak lupa, saya diharuskan duduk dan belajar di kamar Ruli, Abang saya nomor 2. Di TV jam 8:30 lagi ada Bagio CS waktu itu. Dari dalam kamar Ruli saya dengar Papa-Mama tertawa, lalu saya punya idea. Saya keluar dari kamar Ruli, beralasan mau minum, haus, seolah-olah belajar itu seperti olah raga sampai bisa haus, namanya juga anak kecil. Ambil gelas, ambil air, lalu minum sambil mata melirik ke arah TV. Tertangkap basah oleh Mama, lalu dimarahi, saya mencoba berargumen bahwa saya hanya mau minum, tapi Mama lebih kenal anak-anaknya dan kenakalannya.

Melihat Mama marah, Papa memanggil saya dan mendudukan saya di depan Papa, TV dimatikan, lalu Papa memarahi saya. Saya yang dulu memang keras kepala dan pemarah, maka saat itu saya entah kesambet setan apa, berdiri dan kabur dari rumah, tanpa alas kaki, pakai piyama. Kalau dilihat orang pasti aneh sekali, ada tuyul bule keleleran malam-malam pakai piyama tanpa alas kaki. Saya jalan ke arah Pasar Simpang, lalu belok ke arah Dago, tujuan adalah rumah teman baik saya, namanya Bayu Rafi Sukmawan, rumahnya di Bukit Dago Selatan, nomernya saya lupa, tapi rumahnya saya masih ingat sampai sekarang, dekat rumahnya J.S. Badudu.

Saya melintasi warung tenda pinggir jalan yang jual mie instan rebus dan jamu. Sedikit ke atas setelah pertigaan Jl. Tubagus Ismail, di sana ada beberapa pemuda lagi duduk. Salah satunya ada yang memperhatikan saya dan menegur saya; “Mau kemana malam-malam begini, nggak pakai sandal lagi… Kabur dari rumah ya…?”. Saya mau melengos, tapi tangan saya dipegang dan ditanya lagi, dan saya menjawab bahwa saya mau ke rumah teman.

Pemuda itu tersenyum dan bilang; “Sudah malam, tidak bagus lho jalan sendiri malam-malam…”, saya tepis tangannya dan jalan terus ke atas, dia hanya memperhatikan saja tanpa gerak sedikitpun.

Sampai rumah Bayu, lampu sudah mati semuanya, sudah gelap, saya pegang pagar rumahnya, mau ketukkan gembok ke pagarnya, tapi saya urungkan niat saya. Kasihan mereka sudah tidur, nanti terganggu, dan saya memilih balik kanan langkah tegap maju jalan kembali ke arah Pasar Simpang, saya mau tidur di dalam pasar yang saya kenal seluk-beluknya itu.

Menjelang Tubagus Ismail, melintasi lagi warung tenda tadi, dan pemuda itu masih ada di situ, memperhatikan saya dari jauh, dia berdiri, keluar dari warung, dan jongkok di trotoar menunggu saya. Setelah dekat dia panggil saya dan ajak saya bicara. Dia memperkenalkan namanya, Ririn, segitu saja. Pintar Ririn membuat saya merasa nyaman, dikoreknya cerita saya, lalu dia mengajak saya ke kost-nya di seberang warung tenda itu.

Entah kenapa saya menurut saja, padahal kalau jaman sekarang, saya ada di posisi bahaya, pedophil berkeliaran di mana-mana. Sampai di kamar Oom Ririrn, demikian dia meminta saya memanggilnya, ada jaket biru ITB, ada buku di meja, ada semacam banner warna oranye dengan lambang Ganesha. Definit Oom Ririn mahasiswa ITB. Saya bilang bahwa dulu Oom saya juga mahasiswa ITB, dan Oom Ririn menimpali pembicaraan dengan baik sambil mengorek terus alamat rumah saya. Tidak berhasil, dicobanya mengorek nomor telepon rumah, dengan berbagai cara, akhirnya saya menyebutkan 83736. Dulu nomor telepon baru 5 digit.

Oom Ririn meminta saya tidur saja di tempat tidurnya, karena dia mau belajar malam katanya, nanti besok kamu bisa ke rumah teman kamu yang di atas itu. Saya memang lelah, kaki pendek saya berjalan lumayan jauh malam itu, dan saya tertidur dengan cepat. Tiba-tiba saya terbangun, hari sudah mulai terang, saya sendirian di kamar. Saya keluar kamar dan melihat Oom Ririn sedang menyiram halaman di depan kamar kost, ada halaman rumput yang pinggirannya penuh dengan pot tanaman. Oom Ririn melihat saya, menyapa, dan berhenti siram tanaman. Mas Ririn bercerita.

Tadi malam Oom sudah telepon Papa kamu, sudah ngobrol juga sama Abang kamu yang namanya Coki, Papa suruh kamu pulang saja ke rumah, supaya bisa sekolah. Saya bingung, mau pulang tapi takut, tidak pulang juga takut, tapi Oom Ririn mendorong saya untuk pulang, pastinya sangat lembut, karena saya menurut, kalau keras caranya maka pasti saya melawan. Maka saya pulang, sampai rumah dimarahi lagi sama Papa, tapi lalu disuruh mandi dan berangkat sekolah. Selesai sudah masalah semalam, Papa dan Mama memang tidak pernah memendam amarah, marah ya marah, selesai marah semuanya kembali normal.

Hari-hari berjalan seperti biasa, sampai hari Minggu. Hari Minggu waktu main lebih panjang, dan saya memutuskan menggunakannya untuk ke tempat kost Oom Ririn, saya harus bilang terima kasih ke Oom Ririn. Berangkat sendirian ke sana, sampai di depan rumah kost-nya, ketuk-ketuk pagar dan dibukakan oleh orang yang pastinya kost di sana juga. Saya ditanya, cari siapa…? Saya bilang saya mau ketemu Oom Ririn, tapi dia tidak kenal nama itu, tidak ada nama Ririn kost di situ. Saya berkeras ada, dan akhirnya saya diminta menunjukkan yang mana kamar Oom Ririn. Masuk ke dalam, saya langsung ke kamar Oom Ririn, saya tunjuk, ini kamarnya, dan dia bilang bahwa itu kamar dia. Saya lihat dari luar, isinya sama, ada jaket biru ITB, ada banner oranye berlogo Ganesha, tapi kenapa bukan kamar Oom Ririn…?

Saya akhirnya pulang dalam kebingungan, dan masih 2 kali ke sana berharap ketemu Oom Ririn, tapi sampai sekarang, saya tidak pernah ketemu lagi dengan Oom Ririn.

Saya yakin Oom Ririn itu orang, walau dalam benak saya muncul pertanyaan anak-anak; “Apakah mungkin Oom Ririn itu malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu saya dan menjaga saya malam itu…?” Tidak penting. Bagi saya sampai sekarang, Oom Ririn mengajarkan saya bagaimana memperhatikan sekeliling, berbuat kebaikan, walau tidak kenal dan tidak terkait, bila mampu kita melakukan kebaikan maka kita harus melakukannya, full stop.

Oom Ririn menenteramkan saya malam itu, menenangkan Papa dan Mama yang pasti kepikiran dan bingung, meyakinkan Coki bahwa saya aman, padahal dia tidak kenal satupun diantara kita. Oom Ririn bergerak dengan dasar kemanusiaan, tanpa keuntungan, tanpa pamrih, hanya demi kebaikan.

Oom Ririn, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here