Penulis: Brother Santry
Secara tidak kita sadari, sejak berakhirnya perang dingin, kita berada dalam era konflik peradaban; the conflict of civilizations. Bukan saya yang menamainya tetapi, S. Huntington – Fukuyama, legenda yang menciptakan teori tersebut. Menurut sang tokoh, peradaban Barat (Neo Liberalisme) akan mengalahkan lawan-lawannya yaitu Peradaban Timur ( RRC, Jepang, India) dan peradaban Islam (Timur Tengah, Asia Tenggara).
S. Huntington mengabaikan ex Uni Soviet/Rusia, mungkin beranggapan karena Komunisme telah hancur. Padahal sejak abad pertengahan Rusia di bawah Tzar merupakan entitas politik dan budaya tersendiri yang kuat. Demikian juga dalam hal agama, mayoritas penduduknya memeluk Kristen Ortodox dan jumlah minoritas Islam cukup besar. Gereja Ortodox merupakan suatu gereja mandiri dengan pusatnya di Moscow. Dengan luas wilayahnya seperdelapan wilayah dunia, Rusia mempunyai peradaban besar yang berbeda dengan Eropa Barat.
Dalam konstitusinya, Rusia tidak mencantumkan ideologi politik apapun dan mengikuti sistem multipartai, kekuasaan presiden yang kuat serta sistem pemerintahan yang khas Rusia. Dengan budaya politik yang cenderung sentralistik, wilayah luas dan kekayaan alam melimpah serta kemampuan teknologi, hanya dalam 3 dekade Rusia tampil sebagai negara besar yang mewakili suatu peradaban masyarakat multi etnik dan multi agama yang mendiami seperdelapan dunia di kawasan Euroasia (Eropa dan Asia).
Dengan demikian berlangsung persaingan empat peradaban besar yakni peradaban Barat/kulit putih (didominasi Anglo Saxon), peradaban Timur (RRC, India, Jepang), peradaban Euroasia (Rusia) dan peradaban Islam (Timur Tengah, Asia Tenggara, sebagian Afrika). Perkiraan Huntington bahwa Barat akan menguasai dunia ternyata tidak terbukti. Dua jenis perang terakhir yaitu perang dagang AS vs RRC dan perang Ukraina – Rusia; ternyata Barat gagal memaksakan kemauannya.
Agresivitas peradaban Barat sangat terasa di dunia Islam sebagai dampak dari kebijakan AS yang ekspansif misalnya invasi ke Iraq dan derasnya arus informasi yang tidak seimbang. Tidak satupun negara berpenduduk Muslim yang terpancing melawan Barat secara militer, kecuali Iraq yang terpaksa melawan untuk membela diri. Perlawanan senjata justru datang dari Al Qaeda dan ISIS yang terdiri dari sekelompok jihadis yang berhaluan keras tanpa melakukan pertimbangan politik yang matang.
Ironisnya kelompok yang kemudian dicap sebagai “ teroris” tersebut adalah mereka yang dilatih militer oleh AS bersama Arab Saudi dan Pakistan dalam rangka mengusir Uni Soviet dari Afganistan. Setelah Rusia kalah dan keluar dari Afganistan, eks pejuang Afganistan ini sebagian besar menyebar di sejumlah negara terutama negara Barat karena ditolak masuk kembali ke negara asal. Hal ini karena mereka yang berjuang di Afganistan umumnya terdiri dari kelompok oposisi bersenjata di negara masing-masing, misalnya ex DI/NII di Indonesia.
Menjadi pertanyaan besar bagi kita, benarkah terjadi konflik peradaban seperti sinyalemen S Huntington dan F Fukuyama?
Kalau dirunut jejaknya kebelakang, istilah “konflik peradaban“ muncul menjelang runtuhnya Uni Soviet. Gejala keruntuhan itu mulai jelas terbaca ketika Gorbachev dan Reagan menyepakati perjanjian pengurangan senjata pemusnah massal di Malta pada 1985. Uni Soviet melunak sikapnya dalam perang dingin karena kehabisan energy setelah kegagalan sistem ekonomi sosialistis dan perang Afganistan yang menyedot dana besar.
Adapun istilah globalisai lahir terlebih dahulu setelah ditemukannya teknologi informasi digital dan transportasi, sehingga dunia seolah menjadi satu kesatuan seperti layaknya desa besar. Dengan kata lain interaksi manusia antar negara menjadi sangat intens, sehingga saling pengaruh budaya dan peradaban menjadi keniscayaan. Karena itu muncul suatu kekhawatiran bahwa pengaruh budaya akan mengalir dari negara berteknologi tinggi ke negara yang lebih rendah kemampuannya, sehingga terjadi hegemony peradaban.
Asumsi seperti itu tidak tidaklah tepat, sebab suatu peradaban tumbuh dan akan berbeda satu sama lain sesuai karakter , identitas budaya dan visi masing-masing.
Apa yang terjadi bukanlah “the conflict of civilization“ tetapi “dialog antar peradaban” yang berjalan secara alami; suatu transformasi antar budaya. Setiap budaya manapun mengandung kelembutan sebagai dasar saling memberi dan menerima.