Refleksi Bulan Pancasila: Etika dalam Bisnis Pariwisata (Bag. 2)

Foto: Antara

Kritik, Refleksi dan Potensi Solusi

Penulis: Pande K. Trimayuni

Ini merupakan bagian kedua dari dua tulisan.

Bagian pertama telah mengupas persoalan yang sering terjadi dalam bisnis Pariwisata, dengan memakai Pulau Bali sebagai contoh kasus utama.

-Iklan-

Baca: Refleksi Bulan Pancasila: Etika dalam Bisnis Pariwisata (Bag. 1)

Tulisan kedua ini melakukan refleksi dan membahas rekomendasi dan solusi yang bisa diterapkan.

First of all, pariwisata sesungguhnya bukan business as usual. Tidak semua bisa dijual. Tidak semua bisa dipertunjukkan. Tidak semua adalah komoditas.

Ketika sesuatu sudah menjadi komoditas, maka nasibnya sudah ditentukan pasar. Bisa jadi tidak terkontrol.

Tahun 1970s ketika Bali dibuka untuk tujuan pariwisata massal, resiko dan kerentanan itu dimulai. Tahun 1980s yang masih teringat jelas dalam kenangan saya, marwah budaya Bali masih sangat kental terasa. Tahun 1990s, investor semakin banyak masuk Bali. Tahun 2000s, Bali sudah menjelma menjadi global village. Tahun 2010s, kemajuan teknologi dan sosial media membuat Bali semakin terkenal dan mapan. Tahun 2020s sekarang, sudah saatnya untuk refleksi.

Apa yang kau cari, Pariwisata Indonesia? Siapa Anda? Karakter dan personalitas seperti apa yang ingin Anda tunjukkan kepada dunia? Apakah Anda sudah di jalan yang tepat? Jika pergi jauh, masih ingatkah jalan pulang ke akar?

Kekayaan dan modal budaya masyarakat Indonesia bukan pada resort-resort mewah, restoran-restoran bintang lima atau klub-klub kelas dunia. Budaya nusantara ada di denyut jantung masyarakatnya.

Dalam konteks Bali, budaya itu ada di akar rumput dan keseharian masyarakatnya. Budaya itu tumbuh berkembang di awig-awig dan sangkep-sangkep idadane semeton sami. Budaya itu terletak di rerainan jagat, subak-subak desa, tedun banjar dan gaya hidup khas masyarakatnya.

Orang berwisata ke tempat kita karena kekaguman akan marwah dan karakternya. Bukan karena kemampuan kita mengimitasi kosmopolitan New York, Paris atau London untuk negeri kita. Bicara tentang Bali misalnya, karakter budaya Bali bukan karakter mundane. Karakter budaya Bali adalah kristalisasi nilai-nilai dan kearifan leluhur nusantara yang diwariskan secara turun temurun dan tercermin dalam sikap dan keseharian warganya.

Oleh karenanya, kembalilah ke jati diri. Kembalikan marwahnya. Pembangunan pariwisata Indonesia, termasuk Bali tidak perlu meniru destinasi wisata manapun. Karena dengan menjadi diri sendiri, orang akan menghargai. Dengan bangga terhadap identitas sendiri maka orang akan mencari.

Ciptakan peraturan pariwisata yang bervisi melestarikan budaya bangsa. Lakukan pembangunan yang selaras dengan nilai-nilai adiluhung nusantara, pastikan pembangunan pariwisata yang diabdikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Secara khusus, bisnis pariwisata mesti mengutamakan kesejahteraan masyarakat setempat (lokal). Karya seni dan budaya sepatutnya mendapat penghargaan tinggi. Partisipasi warga lokal dalam pembangunan pariwisata harus dijamin. Kesempatan berusaha dan pemberdayaan masyarakat mesti dilakukan. Coba refleksikan sebagai contoh, perhelatan kelas dunia yang biasa diadakan di Bali, seperti KTT G-20 yang baru lewat misalnya. Apa yang didapat masyarakat bali? Contoh yang sangat praktikal. Pengusaha transport lokal sulit berpartisipasi karena syarat mobil yang bisa dipakai adalah mobil tahun 2020 ke atas. Berapa banyak pengusaha yang bisa memenuhi syarat tersebut? Pengusaha makanan lokal/catering sulit masuk. Begitupun penginapan-penginapan lokal, kurang terpromosikan.

Paling yang biasanya ditawarkan kepada pengusaha lokal dalam event-event prestisius dunia yang diadakan di daerah mereka adalah mengisi stand pameran atau jualan UMKM. Itupun persyaratan keikutsertaannya ketat. Sementara itu dukungan untuk inovasi dan kreativitas berkesenian dan menjaga warisan budaya juga belum maksimal. Semoga hal-hal yang disampaikan dalam rangkaian tulisan ini dapat memperoleh perhatian semestinya.

Sebagaimana konsep Tri Sakti yang disampaikan oleh Proklamator RI, Bung Karno, satu komponen pentingnya adalah berkepribadian dalam kebudayaan. Selain berdikari dalam ekonomi dan berdaulat dalam politik. Pertanyaan yang mesti terus kita tanamkan dalam kesadaran adalah, sudahkah bisnis pariwisata Indonesia berkepribadian dalam kebudayaan seperti yang diamanatkan oleh Tri Sakti?

Pande K. Trimayuni (333pande@gmail.com)
Official Representative-Kerjasama anggota SACCHAM (KADIN Amerika Selatan-Karibia) dengan Indonesia, Ketua FOKAL UI.

Baca juga:

Refleksi Bulan Pancasila: Etika dalam Bisnis Pariwisata (Bag. 1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here