Produk Gagal Reformasi + Anak Haram Konstitusi = Kandidat Paling Buruk

SintesaNews.com – Opini Majalah Tempo termutakhir mengulas kondisi perpolitikan nasional yang di ambang kembali ke masa kekuasaan sentralistik seperti era orde baru.

Cukup keras opini Tempo menuliskan untuk menyadarkan pihak pemegang kekuasaan saat ini. Berikut kutipan-kutipannya.

Jokowi mengakali undang-undang yang menjadi aturan main demokrasi, sistem politik yang susah payah ditegakkan sejak Reformasi 1998. Konfliknya dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri membuat keingininan Jokowi memasangkan Prabowo dengan calon presiden separtainya, Ganjar Pranowo, mentok.

-Iklan-

Gibran tak berhak mengikuti kontestasi Pemilu 2024 karena masuk gelanggang dengan aturan main yang telah diakali bapak dan pamannya. Sebagai kepala negara, Jokowi tak selayaknya membiarkan anaknya mengacak-acak pemilu, mekanisme demokratis bagi sebuah negara untuk menyaring pemimpin. Sikap Jokowi yang berlagak pilon—menyebut aturan harus ditaati dan semua pihak harus menghargai tahapan pemilu—merupakan hipokrisi yang layak dikecam.

Prabowo Subianto yang manut pada skenario Jokowi membuktikan ia bukan negarawan, melainkan hanya pemburu kekuasaan. Majalah ini, pada 2013, pernah menyebut Prabowo sebagai produk gagal reformasi. Ia jenderal tentara yang menjadi bagian mesin kekuasaan Orde Baru. Ia pula yang berusaha menumpas gerakan reformasi dengan menculik para aktivis prodemokrasi tapi bisa melenggang masuk gelanggang melalui alat demokrasi yang sah, yakni partai politik.

Prabowo-Gibran, dengan demikian, menjadi kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern: produk gagal reformasi bersanding dengan anak haram konstitusi. Jika Gibran tak mundur, tatanan bernegara akan makin rusak karena Jokowi makin tergoda menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan anaknya.

Tanda-tanda ke arah sana makin jelas. Jokowi mengangkat pemimpin tentara dan polisi loyalisnya di posisi-posisi strategis untuk memobilisasi suara. Ia mengganti mayoritas kepala daerah dengan penjabat sementara lewat mekanisme pelaksana tugas menunggu pemilihan kepala daerah serentak November tahun depan. Tentara, polisi, dan birokrasi adalah senjata ampuh menggiring massa dan opini publik agar memilih anaknya.

Demokrasi tak sekadar memenangi pemilihan. Demokrasi adalah sistem politik untuk menjaring pemimpin lewat mekanisme yang fair dan transparan. Prabowo-Gibran jelas lebih diuntungkan dibanding dua kandidat lain karena didukung Jokowi. Jika terus meladeni hasratnya melanggengkan kekuasaan, Jokowi akan dikutuk sejarah karena membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme.

Wajar Majalah Tempo menuliskan seperti di atas. Karena pada hari yang sama, 12/11/2023 Ketum PDIP megawati Soekarnoputri juga berpidato menyikapi situasi terkini dalam perpolitikan Indonesia.

Baca: Manipulasi Hukum di MK Akibat Praktek Kekuasaan yang Abaikan Kebenaran atas Dasar Nurani

Sementara itu jelang 2 jam saja para tokoh bangsa dan budayawan juga berkumpul di rumah Gus Mus di Rembang menyuarakan kekecewaan mereka.

Baca juga:

Tokoh Bangsa Berkumpul di Rumah Gus Mus, Indonesia Tak Baik-baik Saja

1 COMMENT

  1. Karena Prabowo-Gibran adalah representasi puncak “pencapaian” kebobrokan politik sekaligus kebusukan karakter.

    Sebagaimana dikatakan banyak orang, Prabowo adalah anak haram reformasi., dan Gibran adalah anak haram konstitusi.

    Sebagaimana kasus anak-anak haram, yang salah bukanlah mereka sebagai anak, tapi bapak-bapak mereka.

    Bapaknya Prabowo ya Soeharto.

    Bapaknya Gibran ya Jokowi.

    Mereka berdua adalah bapak-bapak yang melakukan banyak kejahatan kelamin kekuasaan, seperti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.

    Memilih Prabowo berarti ingin kembali ke represi orde Soeharto.

    Memilih Gibran berarti ingin kembali ke penyesatan2 era Jokowi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here