Presiden Joko: Tidak Adil terhadap TM tapi Adil Terhadap Puluhan Pegawai KPK Pecatan, Bharada E, Brigjen Pol E dan Tersangka N

Penulis: Togap Marpaung
(Insan pengawas nuklir, dipaksa pensiun)

Tulisan kedua ini juga menyajikan fakta yang sama dengan tulisan pertama berjudul, Kebijakan Kontradiktif Jokowi: Anti Whistleblower Tapi Simpati Justice Collaborator. Materi pembahasan melibatkan dua pihak, satu orang mendapat perlakuan tidak adil sebagai pihak pertama dan puluhan orang yang terdiri dari empat pihak mendapat perlakuan adil. Semuanya adalah abdi
negara yang bekerja di beberapa instansi pemerintah yang berbeda.

Pihak pertama adalah Togap Marpaung (TM) dan pihak kedua terdiri dari empat kelompok, yaitu: (1) Puluhan pegawai KPK pecatan; (2) Bharada Eliezer (E); (3) Brigjend. Pol. Endar (E); dan (4) Tersangka Nurhayati (N).

-Iklan-

Presiden: Tidak Adil Terhadap Togap Marpaung (TM)

Penulis nama panggilan ketika masih aktif bekerja dipanggil Pimpinan Bapeten dengan inisial TM/ adalah whistleblower yang artinya pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan yang dilaporkan. Peran whistleblower sangat penting untuk membantu para penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara hukum.

Dalam konteks perkara yang dilaporkan bahwa TM melaporkan kasus dugaan tindak pidana korupsi. Tulisan lengkap dan jelas mengenai siapa, apa yang dilakukan, risiko yang dialami merupakan suatu ketidakadilan sudah dijelaskan pada tulisan pertama sebagai TRILOGI WHISTLEBLOWER.

Presiden: Adil Terhadap Empat Pihak

Sebaliknya dengan yang dialami TM, ada empat pihak yang juga berasal dari instansi pemerintah dengan berbagai latar belakang memperoleh keadilan dan suka.

Sesungguhnya mereka sudah dianggap melanggar hukum tetapi menikmati sukacita.

1. Puluhan Pegawai KPK Pecatan

Pada tahun 2021 sampai dengan 2022, perbincangan di media sosial sedemikan riuhnya dan menjadi trending topic bahwa ada tes wawasan kebangsaan (TWK) di kantor KPK yang tujuannya sebagai seleksi karena status pegawai berubah menjadi ASN. Penyelenggara TWK melibatkan beberapa instansi, tidak hanya berasal dari bidang kepegawaian BKN tetapi juga instansi lain, yaitu BAIS, BNPT, Dinas Psikologi TNI AD, Pusat Intelijen TNI AD dan BIN. Ada alasan tertentu mengapa sedemikian ketatnya seleksi tersebut hingga melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan ancaman keamanan dan rahasia negara. Dari total 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK, 51 diantaranya berwarna merah dan tak bisa lagi dibina dan 24 pegawai lain masih diberi kesempatan untuk bergabung dengan KPK melalui Diklat Bela Negara. Ternyata, hanya 18 orang pegawai yang mau mengikuti diklat, berarti ada 6 orang yang menolak dengan alasan tertentu, mereka sangat kecewa. Konsekuensinya, 57 pegawai KPK resmi diberhentikan pada tanggal 30 September 2021.

Pemberhentian pegawai KPK sudah menjadi berita nasional dan berdampak keresahan di tengah-tengah masyarakat. Ada demo, nyaris tiap hari di halaman kantor KPK, konprensi pers, melapor ke Ombudsman dan Komnas HAM hingga menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Ombudsman dan Komsnas HAM memberi dukungan kepada pegawai KPK pecatan, namun upaya perlindungan hkum dan hak gagal, sia-sia. Langkah 2 gugatan ke PTUN Nomor: 46/G/TF/2022/PTUN-JKT dan Nomor: 47/G/TF/2022/PTUN-JKT pun gagal, sesuai pemberitaan media tanggal 29 September 2022, rencana banding ke PTTUN.

Pegawai KPK selaku penggugat mengajukan gugatan kepada Presiden, Ketua KPK dan Kepala BKN sebagai tergugat karena para pihak tersebut dianggap tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM agar 57 pegawai KPK pecatan dapat diangkat menjadi ASN.

Sebelumnya, 11 perwakilan pegawai KPK dari 75 yang tidak lulus TWK sudah mengajukan permohonan informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) agar mereka memperoleh nilai asesmen TWK sehingga ada kepuasan meskipun tidak lulus. Tetapi permohonan ditolak KIP dengan alasan dokumen TWK adalah kategori informasi dikecualikan, sesuai pemberitaan media yang dikutip pada tanggal 18 Maret 2022.

Oleh karena semua jerih payah, mandi keringat dengan amarah tinggi maka tensi perjuangan puluhan pegawai KPK yang didukung berbagai elemen masyarakat termasuk penulis pun bersimpati pada mereka semakin menggelegar.

Ternyata, semua pengorbanan para sahabat pegawai KPK pecatan membuat Presiden Jokowi menjadi semakin tidak nyaman dari hari ke hari.

Tibalah saatnya angin segar, ada pernyataan pers dari Kapolri bahwa 56 pegawai KPK tersebut akan ditarik Polri untuk memperkuat Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipikor) Bareskrim Polri, niatan tersebut telah disampaikan kepada Presiden Jokowi dan mendapat sambutan.

Puncak kebahagiaan bagi 56 pegawai pecatan KPK berubah dari dukacita menjadi sukacita penuh bahagia, mereka diterima menjadi ASN Polri, tanggal 9 Desember 2021 bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia.

2. Bharada Pol. Richard Eliezer (E)

Bharada E adalah seorang justice collaborator yang terlibat dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Pol.Josua Hutabarat di rumah dinas Irjen.Pol Ferdy Sambo, tanggal 8 Juli 2022. Dia mendapat perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Menurut Ketua LPSK, dasar pertama pertimbangan bahwa Bharada E tidak pelaku utama pembunuhan, tidak punya niat membunuh tetapi diduga diperintah oleh atasannya.

Perkara kasus pembunuhan tersebut menyeret banyak perwira Polri hingga kinerjanya menjadi anjlok, masyarakat semakin tidak percaya kepada penegakan hukum di Polri.

Meskipun Bharada E justice collaborator adalah sesungguhnya orang yang terlibat dalam kejahatan dan hukuman bagi Bharada E sangat ringan sehingga dapat melanjutkan karir pengabdian di Polri.

Hukuman ringan yang diperoleh Bharada Pol. E tidak terlepas dari perhatian Presiden Jokowi yang turun tangan untuk meredam kehebohan peristiwa pembunuhan tersebut. Salah satu berita media menulis dengan judul: ”4 Kali Ultimatum Presiden Jokowi Tuntaskan Kasus Brigadir J”, tanggal 10 Agustus 2022.

3. Brigjen. Pol. Endar Priantoro (E)

Satu lagi peristiwa yang juga melibatkan anggota Polri adalah Brigjen.Pol. E yang diberhentikan dengan hormat sebagaimana surat Sekretaris Jenderal KPK tertanggal 31 Maret 2023. Surat Sekjen KPK tersebut ditujukan untuk Polri mengenai penghadapan kembali Brigjen Pol. E kepada institusi Polri.

Jubir Penindakan dan Kelembagaan KPK mengatakan bahwa pemberhentian Brigjen. Pol. E mengacu pada putusan rapat pimpinan KPK. Nampaknya, ada ketidakharmonisan hubungan antara Pimpinan KPK dengan Brigjen Pol. E sehingga dikembalikan kepada instansi asalnya Polri. Kapolri sudah menyampaikan surat kepada KPK supaya Brigjen Pol. E tetap dipertahankan dalam posisi jabatannya.

Brigjen. Pol. E, melakukan perlawanan dengan melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik dengan pencopotan dirinya dari jabatan Direktur Penyelidikan KPK.

Perlawanan pun semakin meningkat bobotnya, laporan pengaduan disampaikan kepada Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang. Serunya, ada 3 terlapor, Ketua KPK, Sekjen KPK dan Kepala Biro SDM KPK. Ombudsman menanggapi dengan baik pengaduan yang dimaksud.

Strategi perlawanan semakin meningkat, Brigjen Pol. E membenarkan akan gugat pencopotan dirinya ke PTUN. Sebelumnya, upaya mengajukan surat keberatan terhadap SK pemberhentian jabatannya sudah dilakukan kepada Ketua KPK sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jawabans urat keberatan tersebut menjadi dasar gugatan perkara ke PTUN. Namun, tidak jadi berlanjut.

Lobi-lobi tingkat tinggi dilakukan. Presiden setuju diangkat kembali Brigjen. Pol. E menjadi Direktur Penyelidikan KPK. Hal itulah yang menjadi dasar Menpan RB menyampaikan rekomendasi kepada KPK.

Selanjutnya, Sekjen KPK kembali menerbitkan SK yang isinya membatalkan SK pemberhentian, tanggal 27 Juni 2023. Ketegangan berakhir dengan kedamaian. Brigjen Pol. E mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Menpan RB, Abdullah Azwar Anas.

4. Tersangka Nurhayati (N)

Nurhayati (N) jabatan Kepala Urusan (Kaur) Keuangan atau Bendahara Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat yang melaporkan Kepala Desa Citemu terkait dugaan tindak pidana korupsi telah dibebaskan dari jeratan hukum yang sempat statusnya menjadi tersangka.

Status tersangka yang disandangnya, resmi dicabut setelah keluar Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon, tanggal 1 Maret 2022. Nurhayati pun sudah aktif kembali di kantornya pada posisi jabatan yang sama di Desa Citemu sejak tanggal 7 Maret 2022.

Adapun kasus yang dilaporkan N kepada Polres Cirebon adalah dugaan korupsi yang dilakukan Kepala Desa Citemu Supriyadi berakibat kerugian keuangan negara sebesar sekitar Rp 818 juta.

Kasus yang menimpa ibu N sudah viral di media sosial, banyak liputan media on line, cetak, radio dan TV sehingga statusnya yang sempat menjadi tersangka, telah gugur demi tegaknya hukum dan keadilan bagi pelapor korupsi yang adalah whistleblower.

Bahwa whistleblower wajib dilindungi negara, tidak boleh dikriminalisasi. Menurut penulis, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pihak Polres Cirebon adalah tidak professional hingga N ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon.

Tulisan ini merupakan suara hati whistleblower TM yang mengalami ketidakadilan dibandingkan dengan keempat pihak mengalami keadilan. Harusnya setiap warga negara berhak memperoleh keadilan berdasarkan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tulisan kedua ini melengkapi tulisan pertama, Kebijakan Kontradiktif Presiden Jokowi: Anti Whistleblower Tapi Simpati Justice Collaborator. Kemudian tulisan ketiga, rencana judul, Whistleblower: #PresidenJokowiTidakAntikorupsi menjadi TRILOGI WHISTLEBLOWER.

Kiranya Bapak Presiden Jokowi mendengarkan dan mengabulkan permohonan suara hati whistleblower TM sesuai kebijakan seorang negarawan.

Baca juga:

Kebijakan Kontradiktif Jokowi: Anti Whistleblower tapi Simpati Justice Collaborator

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here