Penulis: Nurul Azizah
Pajak Pertambahan Nilai atau yang kita kenal sebagai PPN sudah diterapkan lama oleh pemerintah. Masyarakatpun tahu, siswa-siswa dibangku SMP, SMA sederajatpun tahu. Karena PPN diajarkan dikurikulum satuan pendidikan untuk mata pelajaran ekonomi.
PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap penjualan atau penyerahan barang yang telah diolah/diproses sehingga berubah sifat atau bentuk aslinya menjadi barang baru yang bertambah nilai dan manfaatnya.
PPN di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang mewah (PPnBM). Dalam Undang-Undang ini juga diterangkan subjek, objek, dan tarif PPN.
Subjek PPN adalah pengusaha kena pajak, yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan barang dan atau jasa kena pajak.
Sedangkan objek PPN diantaranya barang hasil tambang, hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Kemudian ada barang kebutuhan pokok yang memerlukan pengolahan di pabrik (barang kebutuhan rakyat termasuk sembako yang diolah di pabrik).
Untuk makanan dan minuman yang kena PPN ya, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan tidak termasuk makanan dan minuman yang diolah oleh jasa boga atau katering. Masih banyak lagi objek PPN yang diatur dalam Undang-Undang perpajakan.
Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN adalah pelayanan kesehatan medik, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, keuangan, asuransi, keagamaan, pendidikan, kesenian dan hiburan, penyiaran yang tidak bersifat iklan dan lain sebagainya.
Sampai-sampai guru menerangkan, “Orang bangun tidur sampai mau tidur pasti membayar pajak, terutama pajak PPN.” Coba dianalisis lebih dalam pernyataan tersebut.
Bangun tidur aktivitas apa yang dilakukan sampai orang harus membayar PPN. Bangun tidur lalu ke kamar mandi, sikat gigi, mandi atau aktivitas lainnya. Coba lihat sikat gigi, pasta gigi, sabun, sampo, pembersih muka, gayung, kran air, handuk semua adalah barang pabrikan yang dibeli orang di toko. Bukan buatan sendiri.
Semua orang pasti tahu dan pernah membaca, kalau beli barang di supermarket atau mall, pasar modern pasti ada struk belanjaan. Di bawah sendiri ada tulisan, “Semua barang yang dibeli ada PPN 10% di dalamnya.” Artinya semua barang yang diproduksi di pabrik atau istilahnya barang pabrikan sudah pasti dikenakan pajak 10%.
Itu baru aktivitas di kamar mandi, selanjutnya aktivitas di dapur, membuat teh manis atau kopi manis. Selama gula, teh, dan kopi diproduksi di pabrik ya otomatis ada PPN 10%.
Aktivitas lainnya ketika berangkat kerja, baju kantor (yang beli di mall), tas, kendaraan, ATK, sepatu, helm dan lain-lain.
Ketika ke tempat kerja banyak sekali barang buatan pabrik, kesemuanya dibeli dengan tunai membayar sesuai harga yang tertera dalam nota tunai pembelian tentunya harga yang dibayar sudah termasuk PPN 10%. Pulang kerja sampai mau tidur lagi kita selalu dihadapkan pada barang pabrikan.
Barang-barang yang diproduksi oleh pabrik, atau barang yang sudah masuk di supermarket atau mall, seperti sayuran, ikan, buah ya otomatis kena PPN 10%, atau kamu makan di supermarket, ya pasti makanan tersebut kena PPN 10%.
Kalau tidak mau kena PPN 10% ya, tidak usah memakai barang pabrikan, tidak usah belanja sayur, buah, ikan dan lain-lain di supermarket.
Gunakan produk buatan sendiri, belanja sayur, ikan segar dan buah di pasar tradisional, boleh ditawar dan tidak kena PPN. Apalagi belanja sayurnya siang banget, pasar tradisional sudah pada tutup, masih ada beberapa pedagang sayur bertahan jualan, siapa tahu ada pembeli yang mau beli sayur layu, tidak segar lagi, atau malah ada yang cari gratisan sayur-sayur sisa kemaren. Pasti dikasih harga murah bahkan tidak membayar.
Saat ini Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani Indrawati mengajukan draft tentang tarif PPN tidak tunggal yaitu 10%. Ada wacana untuk kebutuhan pokok rakyat banyak yang diolah di pabrik tarifnya mau diturunkan, tidak 10%.
Sedangkan untuk kebutuhan sekunder dan tersier (barang mewah) tarifnya mau dinaikkan. Ini semata-mata untuk menambah penghasilan negara di sektor pajak.
Saat pandemi yang tak kunjung berhenti, pemerintah sudah banyak menguras APBN. Dalam menghadapi pandemi yang sangat berat ini, pemerintah memberikan insentif pajak untuk memulihkan ekonomi rakyat. Pajak UMKM, pajak penghasilan karyawan (PPh 21) dibebaskan dan ditanggung oleh pemerintah.
Bantuan-bantuan sosial pemerintah juga banyak dikucurkan. Diantaranya diskon listrik untuk masyarakat kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru.
Kemudian vaksin gratis, serta bantuan-bantuan tunai untuk masyarakat yang tidak mampu. Tentunya masih banyak bantuan pemerintah yang lainnya, dan itu menyedot APBN kita.
Kondisi kayak gini, masih saja ada pihak-pihak yang menggoreng, kalau pemerintah mau mengenakan pajak sembako dan pendidikan. Mereka kelompok pembenci pemerintah membuat narasi yang menjijikkan dan seakan-akan apa yang dilakukan pemerintah salah terus.
Saya yang sedikit banyak tahu tentang PPN mendengar isu-isu itu tersenyum sendiri.
Mereka yang menyebarkan hoaks kelihatan banget kalau mereka tidak mau belajar tentang PPN tapi asal menyalahkan rencana-rencana dari pemerintah untuk keluar dari masalah yang kita hadapi bersama.