Penulis: Nurul Azizah
Saat ini lagi ramai netizen bicara mengenai kenaikan PPN 1% dari 11% menjadi 12% di media sosial. Bahkan banyak diantaranya mencari link berita tentang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Benar saja PPN 12% menjadi trending topik antara ditolak atau diterima masyarakat.
PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa yang dikenakan kepada wajib pajak (wapa) orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, artinya yang menyetor uang pajak ke kas negara adalah pihak lain atau penjual (pedagang) yang pajaknya dibebankan ke pembeli (konsumen akhir). Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Sudah lama masyarakat mengenal tarif tunggal PPN yaitu 10%, tetapi sejak adanya UU HPP yang diresmikan oleh Presiden pada tanggal 29 Oktober 2021 ada peraturan baru yang diterapkan pada PPN. Kemudian pemerintah menerapkan tarif PPN baru 11% mulai 1 April 2022 dan 12% yang berlaku pada tanggal 1 Januari 2025. Ketika tarif PPN naik menjadi 11% kurang ada sosialisasi dari pemerintah. Tahu-tahu harga barang dan jasa naik begitu cepat. Dalam kondisi masyarakat yang serba kekurangan tentunya mereka menahan untuk tidak membeli bahan kebutuhan sehari-hari. Karena memang penghasilannya pas-pasan. Kalau dipaksa untuk berbelanja berlebih takutnya uang bulanan habis di depan, terus untuk menutup kebutuhan sampai akhir bulan uang didapat dari mana? Itulah gambaran yang ada di masyarakat kecil.
Penulis sebagai dosen atau pengajar matakuliah perpajakan sangat prihatin dengan keputusan yang diambil oleh Presiden Jokowi kala itu dan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo. Kok bisa ya kenaikan PPN 12% ditetapkan pada bulan April 2022 sementara kenaikan tersebut baru akan dilaksanakan 1 Januari 2025.
Tentunya dengan kondisi perekonomian yang lesu masyarakat membuat trending di media sosial tolak PPN 12% bikin rakyat semakin senewen. Kebijakan yang mengacu pada UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut Sri Mulyani menteri keuangan saat memberikan keterangan di depan anggota DPR RI Komisi XI pada hari Kamis, 14 November 2024, kenaikan PPN 12% tujuannya untuk menjaga stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dilihat dari sudut pandang negara, tentunya akan mengurangi ketergantungan negara Indonesia pada hutang luar negeri. Akibat lain akan menambah pendapatan negara disektor pajak.
PPN termasuk pajak objektif, artinya pengenaan pajaknya berdasarkan objek pajak, dalam hal ini barang konsumsi dan jasa tidak mengenal kondisi wajib pajak atau subjek pajak. Itu artinya mau kaya, kelas menengah, miskin atau fakir miskin kalau belanja barang konsumsi tetap kena PPN juga terhadap jasa yang kena pajak.
Masalahnya kenaikan PPN ini ditengah masyarakat yang mengalami daya beli semakin menurun. Pada tahun 2024, seperti dalam survei konsumen Bank Indonesia (BI) menunjukkan pada bulan Juli 2024, 73,8% pendapatan masyarakat dibelanjakan untuk konsumsi dan kemampuan menanbung menurun menjadi 15,5%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan daya beli masyarakat antara lain, kenaikan harga kebutuhan bahan pokok seperti makanan, sembako, transportasi. Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Pendapatan yang stagnan cenderung menurun. Yang tak kalah hebohnya adalah permasalahan yang ada di dunia industri, yaitu banyak perusahaan mengurangi produksi, PHK karyawan dan tidak membuka lowongan pekerjaan. Selain itu juga masih belum stabilnya produksi barang dan jasa karena mahalnya harga barang faktor produksi, antara lain bahan baku, bahan penolong, tenaga kerja, kurangnya modal dan tenaga ahli sulit didapat pada saat industri yang semakin lesu.
Perlu diingat kenaikan PPN untuk rakyat adalah UU yang dibuat oleh Presiden Jokowi yang diwariskan ke Presiden Pabowo. Rakyat setiap bangun tidur sampai mau tidur lagi terkena pajak terutama PPN. Bangun tidur butuh perlengkapan di kamar mandi dan semua barang pabrikan, lanjut makan minum semua juga hasil bikinan pabrik dan seterusnya hingga mau tidur orang terkena PPN.
Perhitungan sederhana kalau pajak naik 1%, harga barang dan jasa sampai ke tangan konsumen bisa melambung hingga 20-30%, kenapa? Karena ada banyak variabel lain yang saling berkaitan, seperti kenaikan harga bahan baku, kenaikan biaya transportasi, kenaikan biaya tenaga kerja langsung maupun tenaga kerja tak langsung dan lain-lain kenaikan akibat adanya tarif PPN dan inflasi.
Masyarakat kecil yang sudah jatuh tertimpa tangga dan bahkan akan semakin nyungsep di lumpur. Dan tentunya masyarakat yang demikian hanya bisa bertahan hidup saja.
Padahal Presiden Prabowo di KTT G20 Brasil (18/11/2024) mengatakan: “Kemiskinan di Indonesia menjadi persoalan yang serius, 25% anak-anak Indonesia dalam kondisi kelaparan setiap harinya.” Sementara program makan siang gratis untuk anak sekolah belum terealisasi juga.
Dengan adanya daya beli masyarakat yang semakin menurun akan berdampak pada omzet penjual menurun pula. Para pedagang juga khawatir kebijakan PPN 12% akan semakin memperburuk penurunan penjualan produk, terutama tekstil. Kalau sepi pelanggan, lama-lama toko tekstil akan tutup bahkan tutup permanen alias bangkrut.
Masyarakat kecil banyak yang bertahan dengan kondisi hidup pas-pasan. Bagaimana tidak bertahan, uang yang dibayarkan kepada penjual jumlahnya bertambah. Jadi pembeli yang menginginkan atau membeli barang pabrikan tentunya harus membayar barang tersebut dan didalamnya sudah termasuk PPN. Sebut saja pembeli X melakukan pembelian barang ke supermarket ketika dia mau ke kasir, pembeli membayar barang tersebut yang didalamnya sudah termasuk PPN 11%. Katakan dia belanja total Rp 500.000 ketika di depan kasir harus mengeluarkan uang Rp 555.000 kalau PPN nya naik 12% berarti menjadi Rp 560.000 tentunya dengan catatan harga barang dan jasa tidak naik. Memangnya produsen tidak mendengar kalau ada kenaikan PPN. Sebelum ada PPN pun produsen sudah ancang-ancang menaikkan harga barang dan jasa, ya karena semua barang untuk produksi juga mengalami kenaikan.
Kalau pemerintah tetap ngotot menaikkan tarif PPN menjadi 12% berarti pemerintah tidak pro dengan rakyat kecil. Atau memang disengaja agar rakyat kecil tetap miskin dan tidak bisa menikmati barang pabrikan.
Buktinya berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2025 yang disusun oleh Kementerian Keuangan alokasi belanja bansos hanya Rp 152,6 triliun. Bandingkan dengan belanja pegawai (gaji, tunjangan dan lainnya) mencapai Rp 513,2. Ya karena para pejabat di Kabinet Merah Putih memang gemuk sekali. Sedangkan untuk pembayaran bunga utang (dalam dan luar negeri) mencapai Rp 552,8 triliun. Porsi untuk rakyat sangatlah kecil, padahal dari rakyatlah pemerintah memperoleh pendapatan dari sektor pajak.
Apakah pemerintah pusat hanya mengejar mimpi surplus APBN tapi tidak melihat penderitaan rakyat di pelosok desa, di pinggiran perkotaan. Cobalah kaji ulang untuk kenaikan PPN 12%, jangan sampai pemerintah yang semula ingin mengentaskan kemiskinan malah menambah jumlah rakyat yang miskin.
Dengan kondisi rakyat yang miskin, pemerintah terus mengucurkan bansos yang tak seberapa, tidak sebanding dengan pajak yang disetor rakyat ke kas negara. Sementara gaji pejabat negara dan ASN dinaikkan plus tunjangan. Sungguh sangat memprihatinkan sekali, dimana pemerintah sudah tidak pro terhadap rakyat kecil malah pro kepada pejabat-pejabat pemerintah dan aparatur sipil negara.
Kalau tarif PPN dipaksa naik dari 11% menjadi 12% ini pertanda memang negara akan terus memelihara kemiskinan di tengah masyarakat yang memiliki daya beli rendah. Terus bunyi sila ke 5 dari Pancasila dikemanakan?
Nurul Azizah, S.Pd, M.Si
Dosen Perpajakan di STIE Cendekia Karya Utama Semarang