Penulis: Nugroho Iman Santoso
(Jurnalis Kompas TV, Dosen Komunikasi Internasional Women University, Alumni Kriminologi UI)
Waktu melaju tak menunggu, Masa muda cepat berlalu. Umur hitungan belakang, Tak perlu risau karenanya (“Generasi Pantang Tua“, The Changcuter).
Sepenggal lirik lagu dari grup band populer The Changcuter ini terkenal di awal 2000-an. Saat ini di era 2024, lagu ini kembali digunakan sebagai musik latar dalam berbagai unggahan di banyak platform media sosial. Konteksnya biasanya memvisualkan seseorang yang menolak disebut tua oleh orang lain, khususnya Gen X.
Howe & Strauss (2012) mengklasifikasi generasi berdasarkan tahun kelahiran. Mereka adalah; Generasi G.I. atau Greatest Generations. Generasi yang lahir antara tahun 1901-1924 tumbuh di era perang dunia pertama. Selanjutnya Generasi Silent yang lahir antara 1925-1942 di era krisis dunia dan perang dunia kedua.
Kemudian, Generasi Baby Boomers: 1943-1960. Generasi yang besar dan tumbuh di masa perang dunia dan kebangkitan ekonomi dari industri oil & gas.
Nah di sinilah Generasi X lahir antara 1961-1981. Mereka tumbuh berkembang di masa ekonomi dunia relatif stabil, boom industri tambang, serta hidup dalam dua ekosistem dunia sosial yang ekstrem.
Lalu Generasi Y (Milenial) yang lahir antara 1982-2000, dan Generasi Z yang lahir 2001-sekarang. Kedua generasi ini lahir sebagai digital native alias generasi yang sudah melek teknologi sejak masa tumbuh kembang mereka.
Sekelebat POV Gen X
Para Gen x mengklaim bahwa mereka merupakan generasi yang “lengkap”, kalau tidak mau dibilang generasi transisi. Mereka merasa tangguh, adaptif, kuat, karena menjalani dan mengalami dua dunia sekaligus.
Mereka hidup dalam (1) ekosistem analog. Dunia dimana segala sesuatu dilakukan secara manual dan analog, seperti membaca majalah, berkirim pesan yang dilakukan dengan surat menyurat melalui pos, berkomunikasi dengan teman atau kerabat yang jauh dengan telepon rumah atau telepon umum.
Hiburan gen X bermain bersama teman, mendengarkan siaran radio dan kaset melalui peranti mini compo, menonton siaran televisi, hingga memfotokopi dan mencatat materi yang disampaikan dosen ketika perkuliahan.
Para Gen X ini hingga mengalami kehidupan parenting tradisional, konvensional dari orang tua dan guru mereka, seperti masih merasakan hukuman fisik dihukum masuk kamar mandi, dicubit guru, didera dengan penggaris kayu.
Mereka juga hidup pada (2) ekosistem digital dimana dunia bekerja berbasis internet of things, teknologi dan digital life. Seperti berkirim pesan melalui aplikasi percakapan, menonton tayangan di peramban dan aplikasi menonton, hingga melakukan transaksi perbankan, di dalam satu piranti.
Para gen X ini bukan generasi mutan, bukan pula digital native, tapi mampu beradaptasi. Mereka adalah digital migran yang sempurna. Bisa dan mampu beradaptasi dengan generasi di bawahnya, yaitu millenials (gen Y) dan gen-z, bahkan gen alpha (gen-ɑ).
JIka rata rata usia menikah gen x 25-30 tahun, saat ini para gen x adalah orang tua dari para remaja, atau dewasa muda. Anak anak mereka kini bersekolah di sekolah lanjutan, hingga perguruan tinggi. Gen X ini yang menghasilkan gen Z dan awal gen Alpha.
Mereka kini menjadi generasi yang menerapkan parenting modern, lebih inovatif dan adaptif dibanding generasi sebelumnya, sebagai dampak informasi di media sosial yang mereka konsumsi, serta buku yang mereka baca.
Inilah euforia dan “pride” para gen X saat ini, percaya diri dan merasa mampu melakukan semuanya. Tetapi, tak ada pesta yang tak usai, bersiap akan waktu yang menggerus masa.
Generasi X Bersiap Tua
Para Gen X saat ini (2024-2025), kira kira usianya di atas 40 tahun, hingga mendekati 60 tahun. Secara fisik masih produktif, bahkan tingkat kematangan emosionalnya pun prima. Secara pekerjaan sebagian dari gen x bahkan saat ini mungkin berada dalam puncak karier mereka sebagai key position di berbagai perusahaan/instansi/ lembaga.
Tapi di era 2020-an sampai sekarang Mereka mulai disebut generasi tua alias “boomers” oleh gen Z serta gen Alpha, meski ini salah kaprah. Posisi mereka akan digantikan gen Y (Milenial). Ini kenyataan, dan beberapa teman penulis yang juga gen X rupanya menyadari, bahwa mereka akan segera masuk usia pensiun.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2024 merilis bahwa usia harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat menjadi 74,15 tahun. Artinya para gen X saat ini masih memiliki harapan hidup hingga 20-30 tahun ke depan. Sebuah masa panjang untuk menjalani kehidupan. Gen X akan hidup berdampingan bersama 3 generasi sesudahnya (Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha).
Ketika gen X bertemu sebaya, obrolan dan Tema Percakapan antar mereka yang tak akan jauh dari dari apa yang akan dilakukan setelah pensiun? Apakah mereka bisa mengikuti perkembangan teknologi? Membicarakan nasib generasi mendatang? Masalah kesehatan dan kebugaran tubuh. Kemudian parenting masa kini dibandingkan parenting masa mereka kecil. Dan apakah mereka akan mewariskan generasi roti lapis/sandwich bagi anak anak-anak mereka?
Tema-tema tadi termasuk yang sering anda bicarakan bersama teman sebaya? Lalu gimana selanjutnya? Sudah ketemu ujung ceritanya?
Semoga para Gen x sudah mulai menimbang, mau seperti apa dan mau ke mana mereka, karena senja itu segera tiba. Maka masih relevanlah apa yang dikatakan Rene Descartes ribuan tahun lalu Cogito Ergo Sum. (nug)