SintesaNews.com – Pontjo Sutowo menggugat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto, terkait hak kelola lahan di kawasan Senayan.
Sebagaimana dikutip dari website PTUN Jakarta, Rabu (1/3/2023), Gugatan ini tercatat dengan nomor perkara 71/G/2023/PTUN.JKT. Pontjo Sutowo memberikan kuasa kepada Erwin Ardianto Utomo. Adapun tergugat adalah Menteri ART/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Pontjo Sutowo tidak terima dan menggugat keputusan Menteri ATR/BPN bahwa tanah dan bangunan Hotel Sultan kembali ke pangkuan pengelolaan negara di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Setneg).
Bagaimana asal-usul hingga Pontjo Sutowo terus mempertahankan Hotel Sultan?
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin Merasa Tertipu oleh Ibnu Sutowo
Berdasarkan penjelasan Gubernur DKI Jakarta di era 70-an, Ali Sadikin, ia merasa tertipu oleh Ibnu Sutowo (ayah Pontjo Sutowo) ketika saat itu pemerintah membutuhkan hotel untuk konferensi internasional.
Mantan Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin, dalam keterangannya pada sidang dugaan korupsi perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton, mengaku merasa tertipu oleh PT Indobuildco, perusahaan milik Ibnu Sutowo.
Ali Sadikin mengatakan, saat ia memberi izin kepada PT Indobuildco pada 1971 untuk membangun Hotel Hilton dan menggunakan lahan negara, dia mengetahui bahwa PT Indobuildco adalah anak perusahaan Pertamina.
Tapi ternyata kemudian terbukti, PT Indobuildco itu milik pribadi, milik keluarga, bukan anak perusahaan Pertamina. Ali marah, dan merasa tertipu. Semua orang berpikir Indobuildco itu Pertamina, tetapi ternyata milik perorangan.
Ali Sadikin kemudian menceritakan sejarah pembangunan Hotel Hilton untuk menampung sekitar 3.000 tamu peserta konferensi Asia Pasifik yang diselenggarakan di Jakarta.
Waktu itu, hotel di Jakarta baru ada Hotel Indonesia, itu pun hanya cukup menampung beberapa ratus tamu saja
Ali Sadikin kemudian ia mendatangi Direktur Utama Pertamina saat itu, Ibnu Sutowo, untuk meminta agar Pertamina melalui anak perusahaannya membangun sebuah hotel guna kepentingan acara konferensi Asia Pasifik. Sebab Pertamina juga sudah membangun Hotel Patra Jasa.
Pada pertemuan dengan Ibnu Sutowo itu, Ali Sadikin mengatakan, ia pun menegaskan tidak akan menyerahkan izin pembangunan hotel itu kepada perusahaan swasta karena lahan tempat dibangunnya hotel tersebut adalah milik negara.
Saat itu Ali Sadikin hanya memberi surat penunjukan pembangunan hotel di tempat bekas bangunan milik Yayasan Gelora Bung Karno. Surat penunjukan itu ditujukan kepada PT Indobuildco. Setahu Ali, perusahaan itu merupakan anak perusahaan Pertamina. Tapi belakangan baru diketahui Indobuildco perusahan swasta.
Surat penunjukan Ali Sadikin untuk pengelolaan di wilayah itu, bukan untuk menjadi hak milik. Menurut dia, pihak Indobuildco harus berhubungan dengan Yayasan Gelora sebagai pemilik tanah. Tapi Ali kemudian tidak tahu-menahu bagaimana kemudian surat penunjukan itu berubah menjadi hak guna bangunan atas wilayah itu.
Ali Sadikin menuturkan, baru pada 1976, setelah ia melakukan pengecekan kepada JB Sumarlin selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Wakil Presiden saat itu, ia mengetahui bahwa PT Indobuildco bukanlah anak perusahaan Pertamina.
Dalam surat Sumarlin dan Sri Sultan jelas dikatakan bahwa PT Indobuildco bukanlah anak perusahaan Pertamina. Kalau dulu Ali tau sejak awal, mungkin tidak akan dibolehkan Indobuildco untuk membangun hotel.
Siapa Ibnu Sutowo
Indonesia mengenal Ibnu Sutowo lewat sepak terjangnya saat memegang Pertamina. Laporan majalah TIME yang sangat populer ketika itu, Soeharto Inc, terbit 1999 menulis tersendiri soal Ibnu Sutowo. Menurut TIME, dalam dekade pertama kekuasaannya, Soeharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya.
Letnan Jenderal TNI (Purn.) dr. Ibnu Sutowo, D.Sc. (23 September 1914 – 12 Januari 2001) adalah mantan tokoh militer Indonesia yang mengembangkan Permina, perusahaan minyak negara yang kemudian berubah menjadi Pertamina, serta pernah menjabat sebagai Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Ia dikenal sebagai sosok yang melakukan korupsi pada era Soeharto ketika menjadi Direktur sebanyak 15 Milliar Dollar ditahun 1978 dan kemudian dipensiunkan oleh Soeharto diam-diam.
Pada tahun 1957, A.H. Nasution (saat itu KSAD) menunjuk Sutowo untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatra Utara (PT Permina). Pada tahun 1968, perusahaan ini digabung dengan perusahaan minyak milik negara lainnya menjadi PT Pertamina.
Harian Indonesia Raya pada tanggal 30 Januari 1970 memberitakan bahwa simpanan Ibnu Sutowo pada saat itu mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar), dan melaporkan kerugian negara akibat kongkalikong Ibnu dan pihak Jepang mencapai US$1.554.590,28. Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina. Tim ini menghasilkan laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa penyimpangan-penyimpangan, tetapi tanpa tindakan hukum apa pun terhadap pelaku korupsi.
Pada tahun 1975, Pertamina jatuh krisis. Pada tahun 1976, Ibnu mengundurkan diri sebagai Dirut Pertamina, dan meninggalkan Pertamina dalam kondisi utang sebesar US$ 10,5 miliar.
Selain menjadi Direktur Utama Pertamina, Ibnu juga dipercaya oleh Presiden Soeharto dalam sejumlah proyek-proyek besar yang terkait pemerintah maupun Keluarga Soeharto seperti Pembangunan Gedung Bina Graha Istana Merdeka, Proyek Laboratorium USAID di Jonggol, Proyek Rumah Sakit Pertamina di Jakarta Selatan dan Pembangunan Lapangan Golf di sejumlah tempat.