Penulis: Roger P. Silalahi
Dalam menulis atau berpendapat, dalam membuat pernyataan dan argumentasi di dalam sebuah forum baik formal maupun informal, sering terjadi ‘pertikaian’, hal wajar yang sering tidak bisa dihindarkan. Semua akan menjadi baik ketika intelektualitas pesertanya cukup sehingga mampu membahas secara jujur, objektif tanpa keberpihakan selain pada kebenaran.
Yang disayangkan adalah seringkali kejujuran dan objektivitas dilupakan, terbunuh oleh ego yang hanya mau menang, bahkan menggiring pemikiran orang lain untuk masuk ke dalam perangkap pemikiran bodoh yang disediakan sehingga sang tak jujur nan tak objektif terlihat seolah benar. Ini memalukan, apalagi ketika dilakukan oleh orang yang seharusnya hidup berpegang pada kebenaran dan mengandalkan intelektualitasnya, bukan mengandalkan hasrat menjadi ‘jagoan’ dan maha benar sehingga siapapun yang tidak sependapat dengannya langsung masuk kotak ‘iblis’. Sungguh, hal seperti ini mempermalukan intelektualitas.
Perbedaan pendapat adalah hal biasa, kebenaran setiap orang bisa berbeda, dan diskusi adalah jalan mencari kebenaran bersama, bukan pembenaran pribadi. Mencari titik temu adalah fungsi dari diskusi, bukan mencari kesempatan menyesatkan atau mempersalahkan, apalagi dengan membelokkan arti, makna, atau bahkan mengaburkan konteks awal dari pembahasan.
Kadang orang bisa terjebak oleh perangkap alur pikir yang sengaja dibuat dalam rangka pembenaran supaya ‘menang’, sementara dalam hati sang pembuat perangkap tertawa melihat keberhasilannya membuat orang lain masuk perangkap kebodohan yang dia pasang. Ini tidak beda dengan Rocky Gerung, Anies Baswedan, atau Fadli Zon yang bermain kata-kata hanya untuk menang, menghalalkan segala cara demi menang, dan mentertawakan pendukungnya, bahkan ketika sudah jelas terlihat bahwa pendukungnya sudah menjadi korban dari perangkap kata-katanya, dipermalukan karena jatuh dalam perangkapnya, dia masih akan tertawa, merasa pintar (membodohi), berpura-pura benar.
Sebenarnya, penggiringan opini seperti itu masuk kategori perilaku busuk, perilaku manusia yqng merasa dirinya hebat sementara orang lain bodoh. Dipikirnya orang tidak ada yang paham penggiringan opini yang dibuatnya, dianggapnya semua orang bodoh dan bisa ditipu serta dikendalikannya. Politisi yang baik akan berargumentasi dengan benar, bukan menjadi benar karena argumentasi.
Tapi, ada tapinya….
Sejauh apapun penggiringan dilakukan, dengan mudah keseluruhannya dapat dihancurkan, kuncinya adalah dengan mengembalikannya ke premis awal, dengan menunjukkan arti, makna, dan konteks pembicaraan atau masalah yang dibahas. Jika hal ini dilakukan, maka peserta diskusi bisa disadarkan untuk melihat arti, makna, dan konteks, sekaligus menyadarkan peserta diskusi bagaimana penggiringan opini yang dilakukan sudah menjerumuskan mereka ke dalam kesalahan karena memang diluar konteks. Menyadarkan peserta diskusi bahwa mereka sudah menjadi korban ‘Logical Fallacy‘ dari sang penggiring fokus.
Melakukan ‘logical fallacy‘ adalah salah satu hal paling memalukan yang dapat dilakukan seorang yang seharusnya tergolong kaum intelektual. Di awal, akan terlihat indah dan hebat, seringkali ditaburi berbagai istilah asing demi terlihat pintar, namun ketika ada yang menyadarkan peserta diskusi atas apa yang dilakukannya, yang tersisa hanya malu (kalau punya malu), dan kekalahan. Setidaknya, kalah di sisi kejujuran dan objektivitas dengan keberpihakan pada kebenaran, bukan pada pertemanan, kelompok, atau ‘like and dislike‘.
Semoga ini dapat mencerahkan dan membantu menghindarkan diri dari jebakan ‘logical fallacy’ siapapun, terutama dari mereka yang katanya disebut politisi dan intelektual, serta mengingatkan kembali akan fungsi politisi dan intelektual sebagai pendidik bangsa, bukan malah menjerumuskan. Sudah terlalu lama bangsa ini disuguhi pertikaian yang didasarkan pada ‘logical fallacy’, disuguhi kebodohan intelektualitas. Stop…!!!
Politisi dan intelektual harusnya tahu malu.
-Roger Paulus Silalahi-