Politisasi Thomas Cup

Penulis: Dahono Prasetyo

Bagi Kadrun, prestasi ini tidak berguna. Piala Thomas juga bikinan kafir. Dari sepatu, raket, kaos, nett, shuttlecock bukan produk seiman. Bahkan tidak ada teriakan takbir saat smash terakhir Jojo menuntaskan laga final.

Maka dicarilah celah menjadikan gengsi olahraga jauh dari kebanggaan. Kalung Rosario Jojo dibahas, mata sipit the minion dan beberapa pelatihnya diulas latar belakangnya. Yang paling menyedihkan justru mereka bersyukur bendera merah putih gagal dikibarkan sebagai penghormatan sebagai juara. Padahal hanya karena sanksi badan otoritas doping, bukan karena benderanya tidak berupa Ar-Rayah dan Al-Liwa.

Tapi mereka menikmati pertandingan lengkap dengan rasa galau antara mendukung kemenangan atau mendoakan kalah.

-Iklan-

Prestasi olah raga terlalu mahal dijual ke umat, lebih murah jualan agama. Murah meriah, cepat menular dan dijamin melahirkan jiwa radikal.

Begitu mudahnya memecah belah persatuan bangsa, semudah Felik Kwetiaw berpindah dari kafir menjadi ustadz. Secepat Nur Sugex mengumpat dan segesit Yahya Kelonin menistakan Injil. Merekalah justru yang sedang bermasalah dengan keyakinannya sendiri. Melihat bangsa yang dianugerahi plural ini berambisi menjadi singular.

Olahraga memang bukan jalan pintas menuju sorga. Sekedar aktivitas fisik yang dipercaya banyak agama sebagai upaya menghargai hidup.

Maka akan tiba suatu masa dimana jalan menuju surga ditempuh dengan cara menerakakan orang lain. Di negeri bernama Indonesia dengan Jokowi Presidennya, bukan SBY. Dengan Jokowi yang dipersalahkan, bukan SBY. Dengan Jokowi yang mesti menuai hujatannya, bukan SBY yang justru pernah menanamnya.

Dahono Prasetyo
18/10/21

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here