Penulis: Wawan Soehardi
(Lanjutan tinjauan kritis tentang RUU Perlindungan Ulama dan Tokoh Agama)
Baca: PKS Tidak Sadar sedang Membuat Lubang untuk Menguburkan Dirinya Sendiri
Berbeda sekali dengan pembahasan RUU Perlindungan Anak dan Perempuan dimana definisi hukum tentang “Perempuan dan Anak” sangat jelas dan tidak perlu penafsiran ulang serta mudah dipahami publik secara luas, jika dibandingkan dengan definisi “Ulama dan Tokoh Agama” akan sangat terlihat absurd dan berpotensi melahirkan banyak multi penafsiran dan sangat bias.
Oleh karena itu pertama kali dalam tahapan penyusunan RUU PUTA tersebut harus menetapkan secara pasti apa yang dimaksud dengan “Ulama dan Tokoh Agama” tersebut untuk kemudian didefinisikan agar memperoleh kepastian hukum tetap tentang apa yang dimaksud dengan “Ulama dan Tokoh Agama” seperti dalam RUU PUTA tersebut.
Harap diingat bahwa penjabaran definisi “Ulama dan Tokoh Agama” dari sudut bahasa adalah sangat luas sekali, terbagi-bagi dalam berbagai kecabangan keilmuan serta berbagai spesialisasi.
Penjabaran definisi “Ulama dan Tokoh Agama” tersebut harus menghadirkan para pakar di bidangnya dalam tahapan penyusunan RUU PUTA tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan objek, subjek dan definisi hukum.
Hal tersebut dalam alinea di atas adalah hal yang saya harapkan agar tidak terjadi lagi ulama abal-abal yang auto ngustad tidak menguasai methodologi baku keilmuan diberi panggung yang tidak semestinya.
Kita mulai masuk dalam azas equality before the law atau persamaan di depan hukum mengharuskan mempersamakan kedudukan di depan hukum antara dua objek hukum yang hendak dilindungi lewat RUU PUTA tersebut, yaitu:
1. Ulama
2. Tokoh Agama
Untuk sementara hal tersebut diatas kita pisahkan dulu pengertian istilah “Ulama” dari sudut islam dengan istilah “Tokoh Agama” dari sudut agama di luar islam (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu).
Azas persamaan di depan hukum tersebut di atas mewajibkan kedudukan hukum antara “Ulama” dan “Tokoh Agama” tersebut harus dilindungi oleh peraturan Rencana Undang-Undang yang wajib secara setara di depan hukum.
Implikasi kesetaraan di depan hukum antara “Ulama” di satu pihak, dengan “Tokoh Agama” di pihak lain, kedua-duanya harus diberi imunitas kekebalan di depan hukum atas kemerdekaan berpendapat, berfatwa, bersikap dan melakukan tindakan sepanjang mempunyai dasar alas hukum tetap secara methodologi keilmuan menurut agamanya masing-masing.
Artinya adalah, setiap “Ulama” versus “Tokoh Agama” dalam RUU PUTA tersebut harus diberi kekebalan hukum termasuk ketika memandang, berpendapat, berfatwa, bersikap dan bertindak dalam menilai agama lainnya, baik secara positif maupun secara negatif, sepanjang dibenarkan oleh alas-alas dalil menurut agamanya masing-masing dan tidak bisa dikenakan tuduhan atau dakwaan berdasarkan pasal-pasal pidana seperti penodaan agama, perbuatan tidak menyenangkan atau pasal-pasal pidana lainnya.
Apakah ekses negatif dari RUU PUTA sudah masuk kalkulasi perhitungan PKS dalam inisiasi RUU PUTA tersebut?
Sebenarnya masih sangat banyak lagi tinjauan kritis terhadap RUU PUTA tersebut, namun untuk sementara pembahasan saya sudahi dulu sampai di sini.
Menurut saya RUU PUTA tersebut diatas sangat menarik untuk diusulkan dilakukan pembahasan dalam forum-forum bahtsul masail dan forum-forum ilmiah perguruan tinggi.
PKS jual kami siap borong. Anda tidak bisa bermain dalam politik identitas berkaitan dengan inisiasi PKS dalam RUU PUTA tersebut karena itulah konsekuensi tahapan hukum pembahasan RUU PUTA yang akan lahir dengan prolegnas tersebut yang telah secara resmi masuk dalam Prolegnas DPR dan anda tidak bisa menyalahkan pihak-pihak lain.
Sekali lagi, ini bukan masalah posisi setuju atau tidak setuju, tetapi; PKS, kami dorong prolegnas tersebut anda terjebur, anda tarik RUU PUTA anda telat dan terjerembab.
Mari tersenyum bahagia menyambut hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 Hijriah.
Selamat menyongsong hari raya Idul fitri, mohon maaf lahir batin.
Baca sebelumnya:
PKS Tak Sadar sedang Buat Lubang untuk Mengubur Dirinya Sendiri (Bag. 2)