Penulis: Islah Bahrawi
“Ketika anda mengarahkan senjata kepada manusia lainnya, maka anda berniat untuk membunuh cita-cita dan cintanya”, kata Sarah J. Maas dalam “A Court of Thorns and Roses”.
Filsuf Albert Schweitzer menulis lirih: “Jutaan manusia telah terbunuh, tetapi keyataannya tidak ada seorang pun yang bisa memenangkan perang – keduanya mengalami kesengsaraan dan kematian. Manusia terlibat dalam berbagai konflik berdarah yang tidak diciptakan oleh spesies lain, melainkan di tangan sesamanya”.
Serangan nuklir Amerika terhadap Jepang menggambarkan bahwa kekuasaan tidak pernah memiliki rasionalitas tertinggi. Banyak negara tidak mampu menghindari perilaku tak berakal, menyerang sesamanya demi melestarikan arogansi nasional dan ambisi politiknya.
Negara mana pun yang menginisiasi perang, telah melewati batas brutalitas manusia dengan menghalangi penghormatan terhadap kehidupan manusia lainnya. Immanuel Kant memberontak, “Tidak ada yang berhak menyakiti atau merendahkan orang lain pada standar apapun. Di dunia ini, Tuhan menciptakan semua manusia dengan harga diri yang sama.”
Manusia terkadang melebihi praktik binatang, perkelahian menjadi tontonan dan pembunuhan dinikmati. Tapi perang selalu memiliki pendukungnya sendiri, dan dehumanisme kenyataannya memang tidak pernah berdiri di ruang hampa. Padahal ruang dan waktu membedakan setiap manusia: Damaskus, Bratislava, Jerusalem, Washington, Nairobi, Rio de Janeiro, atau Jakarta – semua tak akan pernah sama, lalu untuk apa kita harus saling bunuh karena berbeda.
Kita di Indonesia tidak boleh berpihak kepada bagian manapun, selain kepada kemanusiaan.
Putin yang menyerang, Zelensky yang lebih memilih untuk mempersenjatai rakyatnya, Biden dengan oportunistiknya, adalah orang-orang yang menyandarkan ambisinya kepada keberanian orang lain.
Anehnya kita, tergiring dalam latah keberpihakan dengan gagasan kosong. Lebih konyolnya lagi, bahkan terbawa dalam isu agama, di saat semakin banyaknya nyawa manusia yang tercabut dan peradaban yang terbakar. Sungguh begitu mudahnya kita menjadi korban propaganda – serapuh mereka yang termakan gorengan isu adzan dan gonggongan anjing.