Erri Subakti
Saya seorang arsitek sukses, berada di puncak karier saya, dan tiba-tiba mengalami stroke saat berlibur di San Francisco, pengalaman itu sangat menghancurkan.
Hari dimulai seperti biasa, menghirup udara segar kota dengan arsitektur ikoniknya—jembatan Golden Gate yang megah, rumah-rumah bergaya Victoria, dan jalanan berbukit yang begitu khas. Saya, seorang arsitek yang selalu terinspirasi oleh setiap sudut kota ini, merasa hidup sepenuhnya. Namun, semua itu seketika berubah.
Pada saat stroke itu terjadi, saya mungkin merasakan sesuatu yang aneh: sakit kepala yang tiba-tiba, pandangan kabur, dan kelemahan di satu sisi tubuh. Dalam hitungan detik, kontrol atas tubuh saya menghilang. Kepanikan langsung menyerang. Bayangkan, seluruh tubuh lumpuh; saya tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara, dan bahkan tidak bisa berteriak meminta bantuan. Pikiran saya masih jernih, tapi tubuh saya sudah tidak lagi merespons.
Rasanya seperti terperangkap di dalam diri sendiri, tubuh yang dulunya bergerak bebas, kini menjadi seperti penjara. Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, saya terdiam, tak berdaya, hanya bisa mendengarkan suara-suara di sekitar saya: deru mobil yang berlalu, langkah kaki orang-orang yang sibuk, semua itu terasa jauh dari jangkauan.
Sebagai seorang arsitek, yang terbiasa membangun dan menciptakan, ketidakmampuan untuk sekadar menggerakkan tangan terasa seperti kehilangan esensi diri. Imajinasi dan kreativitas saya masih berputar, namun kini, semuanya terkunci di dalam pikiran saya. Saya tidak lagi mampu mewujudkan gagasan-gagasan itu.
Waktu mungkin terasa melambat, atau bahkan berhenti sejenak. Segala rencana besar yang sebelumnya ada—proyek-proyek arsitektur yang ambisius, inovasi-inovasi masa depan—semuanya mendadak terasa hampa. Keterpurukan fisik ini membangkitkan ketakutan mendalam, pertanyaan tentang masa depan, dan ketidakpastian apakah saya akan pernah bisa berkarya lagi.
Namun, di dalam keterbatasan itu, ada ruang untuk refleksi yang dalam. Saya mulai memikirkan ulang arti dari pencapaian, kesuksesan, dan kehidupan itu sendiri. Mungkin ini adalah pengingat, sebuah kesempatan untuk melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda. Dari sini, hanya ada dua pilihan: menyerah pada keadaan, atau mencoba bertahan, perlahan-lahan merangkak menuju pemulihan, seiring dengan setiap detik yang berlalu.
Ini adalah pengalaman yang tidak hanya mengubah fisik, tetapi juga jiwa.