Penulis: Suzie S. Sudarman
Pengantar
Ada beberapa ahli ilmu politik seperti Joel Migdal, Atul Kohli, Vivienne Shue yang mengembangkan teori negara dalam masyarakat (state in society) yang mengutamakan analisis soal kelompok-kelompok sosial yang membatasi penetrasi dan efektifitas negara di negara yang masih dalam proses menyejahterakan rakyatnya. Karena sekalipun kelompok-kelompok sosial menyatu dengan negara namun kesetiaan yang paling mendasar tetap berkenaan dengan nasion, kelompok ideologi, organisasi para militer, dan komunitas lokal.
Dalam pendekatan di atas sangat penting untuk bisa membedakan antara eksplorasi soal sistem negara (state-system) dan penelisikan soal gagasan negara (state-idea). Sistem negara berkenaan dengan berbagai institusi yang memiliki wewenang eksekutif dan gagasan negara berkenaan dengan citra (image) yang diproyeksikan dan menyangkut sebuah konstruksi.
Negara itu secara riil terdiri dari aktor-aktor institusional (state-system) yang masing masing saling bersaing dan juga dengan entitas di luar diri mereka. Yang terjadi adalah pertarungan untuk merebut posisi otoritas di dalam spasi multidimensional yang bersinggungan dengan macam-macam kekuatan sosial (ekonomi, politik dan kultural).
Akibatnya selain negara itu bisa masuk ke dalam kekuatan sosial yang sudah ada dan kemudian membentuk pola dominasi yang baru di dalamnya, pada umumnya kondisi yang terjadi terletak di tengah antara kedua hal tersebut dan menghasilkan hubungan yang saling mengubah ataupun saling mempengaruhi (recursive relationship).
Tampak jelas adanya jurang yang cukup lebar yang memisahkan antara citra sebuah negara yang ideal (gagasan tentang negara atau state-idea) dengan perpecahan negara (disunity) yang sesungguhnya. Karena kesepakatan soal komitmen dengan kebangsaan Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk tidak sepakat dengan isi dari kebangsaan itu, jika hal ini terjadi maka aneka ketegangan tersebut harus disinkronisasi.
Karena perbedaan ini berasal dari aliran pemikiran politik Indonesia, para pemimpin negeri seyogyanya benar-benar faham akan pentingnya upaya menghindarkan soal eksklusivisme dan mengutamakan pemahaman atas kenyataan Indonesia yang pluralis. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini mudah merasa cemas jika timbul masalah “monopoli” atau “pemaksaan” kebenaran atau hadirnya “kebenaran yang membabi-buta.”
Akibat Pergesaran Geopolitik dan Integrasi Perekonomian:
Yang mengakibatkan perubahan Indonesia di samping kenyataan hadirnya aliran pemikiran yang berbeda yang saling bersaing adalah adanya perubahan geopolitik dan terintegrasinya perekonomian dunia yang seringkali memicu kekerasan. Ada hukum besi dalam politik internasional: bahwa yang kuat akan cenderung kepada apa yang bisa mereka lakukan dan yang lemah itu sekedar menjadi korbannya. Dalam hal ekonomi internasional berlaku kenyataan bahwa kapitalisme itu adalah sebuah proses penghancuran yang kreatif. Masalah utamanya adalah seberapa jauh kita akan tetap dalam kondisi tidak berdaya dan kemudian menjadi korban, ataukah kita mampu mempersiapkan diri untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi.
Terjadinya Malapetaka Berkepanjangan di Indonesia
Secara keseluruhan hal di atas menjadi awal dari malapetaka berkepanjangan bagi bangsa Indonesia. Penyebabnya bersumber pada kurang mampunya kita memilah permasalahan yang bersifat transnasional dengan masalah perbedaan antara pandangan kalangan yang memaksakan kebenaran yang bersifat mutlak. Kecelakaan sejarah terjadi di saat reformasi. Keterbukaan ideologi negara membuat rel jalannya negara dipertarungkan para politisi dan tokoh agama tanpa akhir dan tanpa solusi. Solusi membutuhkan keberanian dan kenegarawanan
Isu agama menjadi terlalu dominan setelah reformasi di Indonesia, sampai Perguruan Tinggi pun diperebutkan. Hal ini sudah melampaui rasa kewajaran karena seyogyanya yang dibahas bangsa ini adalah soal program bukan justru membahas isu sektarian. Segala kekisruhan akhirnya bermuara kepada problematik kurang tajamnya cara bangsa ini melihat lingkungan strategis secara rasional. Tampak jelas terjadinya penghancuran dunia yang objektif dan terbukanya kemungkinan wujudnya eksistensi utopis (utopian existence) di Indonesia. Ini sangat membahayakan karena, setiap ketergantungan akan investasi asing akan membawa bahaya intervensi andaikata kondisi dalam negeri tidak terkontrol dan berangsur angsur di mobilisasi secara sektarian. Kalau pemerintah luput mengupayakan perlindungan investasi negara lain karena di dalam negeri sedang diguncang secara inkremental, maka Indonesia sesungguhnya sedang berada pada titik paling kritis.
Selamatkan Kemampuan Berfikir Rasional Bangsa
Mari kita selamatkan kemampuan berfikir rasional bangsa ini dan jangan jadikan kemenangan kelompok Taliban sebagai sebuah model untuk mempertajam perbedaan di dalam negeri. Semoga pemerintah bisa mengutamakan prioritas yang rasional dan mengundang kembali wacana-wacana non sektarian atau non-agama agar negeri ini mampu menyejahterakan bangsa secara akal sehat. Perguruan Tinggi harus menjadi andalan utama untuk membantu bangsa menjadi rasional dan meningkatkan keterlibatan setiap warga negara untuk bersama-sama menyongsong masa depan yang bukan utopis sifatnya.
Masalah yang baru saja terjadi di kawasan “seiman” bagi mayoritas bangsa ini yakni Afghanistan telah lolos dari ketajaman pemikiran bangsa. Para politisi kalangan mayoritas “seiman” mengelu-elukan kelompok Taliban di media media yang mengutip mereka.
Padahal persoalannya sangat mendasar dan menyangkut soal geopolitik dan bagaimana mengamankan Indonesia dari pergeseran yang terjadi di tataran internasional. Mengapa Indonesia perlu mempertajam analisis soal ini karena kesejahteraan bangsa yang diupayakan Presiden Jokowidodo erat terkait dengan lingkungan strategis negara.
Langkah pertama yang penting adalah memahami soal “the Great Game” atau “konfrontasi” antara strategi negara-negara besar di kawasan Afghanistan. Hal ini terjadi dalam bentuk konflik strategi dari abad ke 19 hingga awal abad ke 20 antara kekaisaran Inggris dan Rusia yang berkenaan dengan Afghanistan dan kawasan tetangga di Asia Tengah dan Asia Selatan. Di akhir tahun 1990 ada istilah baru yang dikenal yakni “the New Great Game” atau pertarungan baru karena wujudnya kepentingan geopolitik atas kekayaan sumber daya mineral di kawasan Asia Tengah. Penyerbuan Rusia pun terjadi di akhir tahun 1979 akibat konflik antara kelompok mujahideen Afghanistan dan kelompok Shiah serta kelompok Maoist yang bergerilya melawan Republik Afghanistan dan tentara Rusia. Peperangan ini menghancurkan Afghanistan dan berkontribusi pada runtuhnya Uni Soviet.
Mundurnya Soviet mengakibatkan terjadinya Perang Saudara antara faksi-faksi mujahideen. Taliban muncul di tahun 1994 sebagai gerakan siswa-siswa madrasah di Pakistan dan berhasil meruntuhkan pemerintahan Rabbani. Jatuhnya Kabul mendorong terbentuknya Aliansi Utara di bawah pimpinan Ahmad Shah Massoud dan Abdul Rashid Dostum. Setelah Amerika Serikat menyerang Afghanistan di bulan Oktober 2001 dan kemudian bekerja sama dengan aliansi Utara, pemerintahan Taliban pun jatuh di bulan Desember 2001. Akhir Agustus tahun 2021, setelah membantu pemerintahan Afghanistan selama dua puluh tahun Amerika Serikat dan NATO mengakhiri keterlibatan di Afghanistan.
Para politisi Indonesia nyata-nyata sudah tidak banyak peduli soal program selain menghimpun kekuatan demi kemenangan kelompoknya di tahun 2024. Mereka memanfaatkan situasi kemalangan bangsa Afghanistan untuk kepentingan politik sempit mereka. Jarang berfikir bahwa BRI (Belt and Road Initiative) atau Jalur Sutera yang dibangun Cina dan kepentingan Cina di Afghanistan erat kaitannya dengan kondisi kebutuhan Indonesia akan investasi Cina.
Perguruan Tinggi Layak Membentuk Wacana Strategik Bangsa
Dalam pertarungan dan persaingan Cina-Amerika Serikat yang bisa membawa pengaruh ke dalam negeri Indonesia jarang para politisi Indonesia berfikir ataupun bersuara yang bukan bersifat menghujat soal TKA Cina atau keburukan Pemerintahan Presiden Jokowidodo. Yang menjadi konsumsi rakyat Indonesia sehari-hari adalah soal penistaan agama, hujatan terhadap pemerintah dan gerakan yang mengarah ke mobilisasi kekuatan sektarian menjelang pemilu 2024. Perguruan Tinggi yang seyogyanya berkomitmen mengembangan ilmu pengetahuan dan menjaga rasionalitas bangsa menjadi ajang pertarungan agar bisa dikuasai para politisi dan ormas tanpa pencegahan nyata berupa regulasi yang masuk akal dan tidak bernuansa politik sesaat.
Dengan terabaikannya aturan yang wajar untuk melindungi kebebasan berfikir ilmiah dan sudah tidak lagi menjadi dasar wacana demi menyejahterakan bangsa Indonesia secara nyata telah menjadi bangsa yang sulit berfikir secara rasional. Perguruan Tinggi harus tetap menjadi penjaga kearifan bangsa karena kelaziman berfikir obyektif dengan memanfaatkan metode yang objektif. Sebagai bangsa yang masih membangun kesejahteraan ilmuwan Indonesia masih harus bertarung di tataran internasional demi membuat metode yang dikembangkan Perguruan Tingginya agar menjadi pegangan ilmuwan dunia dalam memahami Indonesia secara sempurna. Dengan perlindungan pada kebebasan berfikir bangsa Indonesia akan diperkaya oleh wacana yang mendukung upaya mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan.
Suzie S. Sudarman
Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika dan Dosen Departemen Hubungan Internasional
Universitas Indonesia