Penulis: Shuniyya Ruhama
Ketika terjadi Perang Dunia Kedua, pasukan NAZI berhasil menghajar Sekutu di Eropa hingga babak belur. Mereka tidak mampu menghadapi dahsyatnya serbuan tentara besutan Adolf Hitler tersebut.
Para ahli strategi Sekutu akhirnya menemukan suatu strategi untuk menghantam Jerman, yakni: SERANGLAH TITIK TERKUAT DI SAAT TERLEMAH. Maka dengan strategi ini, mental tentara NAZI drop, lalu berhasil dipukul mundur.
Pada konteks kekinian, ketika ada kekuatan besar hendak merusak Negara Kesatuan Indonesia, semua orang sudah mafhum bahwa penghalang utamanya ialah NU. Sejak awal, NU sudah berkomitmen untuk mempertahankan NKRI seberapapun harga yang harus dikorbankan.
Maka untuk meruntuhkan NU yang terlalu kuat mengakar di hati umat Islam salah satu caranya ialah dengan menghancurkan kepercayaan warga NU kepada Ulamanya. Strategi ini pernah sukses dilakukan oleh Belanda atas arahan DR Snouck Hurgronje setelah gagal perang melawan rakyat Aceh selama 30 tahun.
Demi mensukseskan strategi penghancuran kepercayaan umat Islam kepada ulamanya ala DR Snouck Hurgronje inilah, maka dijalankanlah dulu strategi: SERANGLAH TITIK TERKUAT DI SAAT TERLEMAH
Penerapannya, dilihatlah pada waktu itu, titik terkuat NU terletak pada figur Ketua Umum PBNU 1984-1999 yakni KH Abdurrahman Wahid.
Semua ghibah, fitnah, cacimaki, dan ujaran kebencian tak terperikan ditujukan kepada beliau. Gemparlah warga NU. Sebagian terhasut dan terseret permufakatan jahat ini. Sebab kepiawaian dalam mengolah, mencampuradukkan antara fakta dengan fallacy sangat luar biasa.
Namun alhamdulillah sebagian besar tetap solid. Pada akhirnya sebagian yang sempat terpengaruh bisa menyadari kekhilafannya. Hingga sekarangpun fitnah kepada beliau masih abadi. Dahsyat sekali dampaknya.
Dan kini, serangan itu ditujukan lagi kepada para punggawa NU. Salah satunya ialah Gus Yaqut. Strategi SERANGLAH TITIK TERKUAT DI SAAT TERLEMAH kembali dijalankan.
Yang akan dibahas di sini adalah tudingan bahwa Gus Yaqut adalah keturunan PKI. Ada juga yang menyatakan bahwa beliau adalah seorang muallaf.
Mari kita simak siapakah Gus Yaqut itu? Beliau adalah KH Yaqut Cholil Qoumas Bin KH Muhammad Cholil Bisri Bin KH Bisri Mustofa.
KH Muhammad Cholil Bisri adalah tokoh besar NU yang turut membidani pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa pasca reformasi 1999, bersama dengan KH Abdurrahman Wahid dan beberapa Kyai lainnya. Beliau juga dikenal sebagai Singa Podium karena kepiawaian dalam berceramah.
Beliau banyak berguru kepada KH Mahrus Ali dan KH Marzuki Dahlan Lirboyo. Juga merupakan santri kinasih dari KH Ali Maksum Krapyak Jogja.
Adapun KH Bisri Mustofa ialah seorang ulama besar di jamannya. Beliau santri dari KH Cholil Bangkalan dan juga santri KH Hasyim Asy’arie. Pondok yang beliau asuh “Roudlotut Tholibin” pernah menjadi tempat persinggahan Guru Mulia KH Abas Abdul Jamil Buntet ketika akan memimpin pasukan santri menghadapi Sekutu di Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang mengguncang dunia itu.
KH Bisri Mustofa juga dikenal sebagai Ulama yang memimpin pembersihan kepada anggota PKI yang sebelumnya menyerang Ulama dan Santri.
Beliau juga dikenal sebagai seorang Mushonnif, penulis kitab yang sangat produktif di jamannya. Lebih dari 80 kitab sudah beliau hasilkan selama hidupnya. Karya fenomenal beliau ialah Tafsir Al Ibriz yang hingga kini masih dikaji di berbagai pondok pesantran dan majlis pengajian.
KH Bisri Musthofa mendapat amanah untuk mengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin dari Bapak mertua beliau yakni KH Cholil Harun.
KH Yaqut Cholil Qoumas juga merupakan adik kandung dari Ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Gus Yahya adalah putra sulung dan Gus Yaqut adalah putra keempat dari KH Muhammad Cholil Bisri.
Beliau juga merupakan keponakan dari KH Ahmad Musthofa Bisri atau yang kita kenal sebagai Gus Mus Rembang. KH Muhammad Cholil Bisri adalah kakak kandung dari KH Ahmad Musthofa Bisri.
Jadi, tudingan bahwa beliau adalah keturunan PKI dan atau Muallaf jelas fitnah belaka.
Mari kita mewaspadai siasat jahat yang hendak ditujukan guna menjauhkan para Ulama dan Punggawa NU dari umat Islam, khususnya warga NU. Jangan sampai siasat ini berhasil.
Pesan KH Wahid Hasyim, “Senantiasa bergandengan tangan, merapatkan barisan, dan saling mendoakan”.
Shuniyya Ruhama
Alumni FISIPOL UGM Yogyakarta