Penulis: Dahono Prasetyo
Museum Multatuli di Rangkasbitung (Banten) dibangun bukan tanpa halangan. Dalam pidato peresmiannya, Februari 2018, Bupati Lebak mengeluhkan bagaimana proses pembangunan Museum ditentang banyak pihak. Alasannya, Multatuli merupakan seorang Belanda. Mengapa dibuatkan museum di Indonesia?
Premisnya: Orang Belanda adalah penjajah. Itulah yang diajarkan di sekolah. Lantas bagaimana apabila ada seorang Belanda yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan menolak kolonialisme?
Multatuli adalah penulis novel berjudul ‘Max Havelaar’. Novel tersebut nyatanya adalah karya sastra antikolonial pertama di dunia. Terinspirasi dari kolonialisme yang terjadi di Indonesia.
Dalam kurikulum 2013 (kurtilas) yang dikeluarkan pemerintah, Multatuli hanya disebut dalam Sejarah Indonesia pada kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang disebut Culture Stelsel atau tanam paksa. Sedangkan dalam ‘Strategi perlawanan dan respon bangsa Indonesia’, baik buku teks dari pemerintah dan swasta tidak menyertakan Multatuli sebagai bentuk perlawanan bangsa Indonesia melalui ide asing.
Kalau boleh menyebutkan: Pengajaran sejarah sudah rasis sejak dalam kurikulum. Padahal, semangat pergerakan dan kemerdekaan Indonesia melintasi antar Ras. Keponakan Multatuli, Ernest Douwes Dekker justru kemudian menjadi salah satu tokoh pergerakan naaional tiga serangkai yang kita mengenalnya sebagai Setiabudi.
Itulah contoh cara mengenal sejarah secara hitam putih. Contoh lainnya bisa kita temui dalam film perjuangan dan film yang terkait peristiwa 1965. Pemerintah orba memberikan gambaran bahwa orang komunis ‘lugu tetapi bodoh’ dan orang Belanda ‘tidak ada yang baik’.
Celakanya patron pengajaran sejarah oleh rezim masa lalu itu belum ada usaha memperbaikinya hingga saat ini.
Sepintas, generalisir ini tidak bermasalah. Namun ketika kenyataan justru berkata sebaliknya, kita tidak mampu mengkategorikan orang-orang yang melintasi batasan ras-nya untuk mendukung, katakanlah, kemerdekaan. Kita yang terlanjur menganggap semua orang ‘Belanda’ adalah penjajah tidak mampu memahami bahwa yang kita tolak bukan ‘keBelandaannya’ sebagaimana ‘keArabannya’, keCinaanya’ dan seterusnya.
Hal utama yang kita tolak dari bangsa Belanda adalah kolonialismenya. Sehingga permusuhan pada Belanda saja bisa menghapus tujuan utama kita melawan penjajahan. Sebagaimana Inggris dan Perancis sesungguhnya juga penjajah. Kemudian kita melupakan bahwa yang kita lawan adalah kolonialismenya.
Hal ini akan menjadi kerugian yang sangat besar dan panjang. Akibat langsung yang sekarang kita hadapi adalah berkembangnya kecenderungan issue SARA. Sangat mudah untuk menghina identifikasi fisik atau identitas agama tertentu hanya untuk mempertahankan kebanggaan nasional. Pengajaran sejarah yang melulu tentang benar dan salah, ternyata berperan besar secara struktural dalam membentuk pemahaman rasis satu generasi.
Lambat laun, pengalaman bangsa Indonesia dalam lanskap sejarah hanya akan mengenal musuh bernama ‘Belanda’, bukan kolonialisme yang bisa berubah-ubah pelakunya.
Gerakan Khilafah dan negara Islam yang sudah ada semenjak pemberontakan DI/TII menjadi bentuk Neo kolonialisme dalam hal ideologi, luput diajarkan menjadi musuh dalam selimut.
Tradisi semacam ini memang dipertahankan oleh para politisi usang untuk mendapatkan panggung dan mimbar demi meraup suara massa ‘yang marah’. Kemarahan yang terkontrol adalah sebuah ‘kekuatan politik’.
Hingga pada generasi selanjutnya, lambat laun kita akan melupakan cita-cita utama pendiri bangsa yang melintasi suku, agama dan ras, dalam bentuk solidaritas antar-bangsa (Asia-Afrika) demi tujuan menghapus penjajahan.
Sejarah adalah akar. Kadang kita lupa menilai pertumbuhan sebuah pohon (negara) akan kokoh justru dari kedalaman akarnya.
Dahono Prasetyo
23/08/21