Penulis: Ganda Situmorang
“Naik naik ke Puncak gunung”
“Tinggi tinggi sekali”
“Naik naik ke Puncak Gunung”
“Tinggi tinggi sekali”
“Kiri kanan kulihat saja”
“Banyak pohon cemara”
“Kiri kanan kulihat saja“
“Banyak pohon cemara”
(Lirik lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung karangan Ibu Sud)
Lagu tersebut adalah satu lagu terpopuler semasa kanak-kanak penulis. Bahkan hingga jaman now lagu tersebut masih sering dinyanyikan baik oleh anak TK hingga orang dewasa.
Ungkapan Turun Gunung yang dilontarkan pak SBY-lah yang membuat penulis teringat lagu itu. Ada ungkapan Turun Gunung namun tak ada ungkapan Naik Gunung melainkan Naik Daun. Manuver Pak SBY kurang lebih senada dengan peristiwa beredarnya tabloid Mengapa Harus Anies di Malang. Di awang awang.
Pak SBY katakan dia mau Turun Gunung. Biasanya ungkapan ini digunakan oleh pihak ketiga kepada seorang tokoh atau subjek. Contoh; “Akhirnya sang legenda karut marut Turun Gunung untuk menyelesaikan karut marut yang sedang terjadi.”
Jadi di situ ada situasi karut marut sedang terjadi ditengah masyarakat tertentu. Khalayak ramai meminta sang legenda karut marut untuk turut serta membenahi karena tidak cukup lagi sekedar memberi arahan. Dan lalu sang legenda yang paling ahlinya ahli karut-marut tersebut terpaksa ikut bergabung sebagai pelaksana sehingga karut marut menjadi apik resik. Disitu sang ahlinya karut marut berubah peran dari seorang penasehat memberi arahan menjadi ikut langsung sebagai pelaksana lapangan.
Benang merahnya adalah, kepentingan umum yang sedang dalam situasi karut-marutlah sehingga sang legenda karut-marut diminta oleh publik untuk Turun Gunung. Bukan karena kepentingan pribadi atau kelompok. Ada proses legal formal sesuai konstitusi maupun proses sintesa dari diskursus publik.
Ungkapan Turun Gunung tidak lazim diungkapkan oleh seorang legenda karut-marut sejati.
Woyy ini sedang karut-marut dunia persilatan! Baiklah, saya turun gunung nih. Bukan begitu sodara. Khalayak dan pihak ketigalah yang menyatakan, oh sang legenda karut-marut turun gunung.
Situasi politik memang sedang menghangat menjelang tahun 2024 yang semakin dekat. Tapi jauhlah dari sebutan karut-marut. Ibarat srimulat, ketika tetiba seorang ahli karut-marut misalnya teriak, saya turun gunung, karena sedang karut-marut. Kagetlah semua orang, ga mudeng.
Publik jadi bertanya-tanya, Pak SBY proklamirkan turun gunung, seolah-olah mau mendesain bahwa situasi sedang carut marut atau mau membuat kondisi karut-marut. Maka tak pelak lagi, pernyataan langsung Pak SBY turun gunung segera mendapat respon dari partai penguasa. Sekjen PDIP Dr. Hasto Kristianto pun pasang badan, supaya jangan coba-coba menggangu Presiden Jokowi, petugas partai-partai penguasa yang sedang giat bekerja siang malam tak kenal lelah.
Tersirat juga ungkapan Pak SBY mengatakan dia Turun Gunung ibarat sebuah gangguan psikis gagal move on. Indikasi Post Power Syndrome akut karena sudah 8 tahun sejak turun dari kursi Presiden (bukan naik gunung).
Jadi benaran juga kata Dr. Hasto, ini Pak SBY kapan naik gunungnya kok tiba-tiba sekarang mau Turun Gunung.
Baiklah, jika memang Pak SBY mau Turun Gunung, tak perlu juga kita tanyakan kapan elu naik gunungnya? Mau benahin karut-marut apa mau bikin karut-marut? Atau apapun itu. Mari kita Naik Gunung bareng-bareng, supaya bisa melihat secara cermat dan teliti petikan gitar pak SBY yang sedang Turun Gunung.
Kira-kira begitu.
September 21, 2022
Baca artikel lainnya: