Ormas, Terorisme, dan 2024

Penulis: Roger P. Silalahi

Ada banyak ormas besar di Indonesia, ada MUI, kelompok sejenis FPI, kelompok baru yang merupakan penjelmaan dari FPI, dan berbagai ‘laskar’ yang tersebar di berbagai wilayah. Laskar-laskar tertentu memiliki anggota yang dilatih secara militer, kelompok-kelompok berseragam aneka rupa dan warna, bawa nama Pancasila, Agama, Suku, berkeliaran bebas seolah tanpa pengawasan. Ada yang murni kelompok preman, tapi kebanyakan tampil sebagai pengecut, membawa nama-nama yang mengesankan kebaikan, walau lakunya tetap saja preman.

Sampai kapan ini akan dibiarkan…?

-Iklan-

Kita punya Undang-undang (UU) No. 16 Tahun 2017, yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, lebih dikenal dengan UU Ormas. Dalam Pasal 59 sampai 62, telah cukup tegas diatur berbagai hal terkait pencegahan keterlibatan dalam pemikiran dan aksi radikal, namun penerapannya tidak demikian, seolah tidak ada yang mengurusi masalah ini. Pasal 80A dan 82A telah menjelaskan sanksi pidana atas penanggungjawab ormas.

Tapi apa dilacur, pihak Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Negara Indonesia, Kemenkumham, Kementerian Agama, dan Mahkamah Agung nampaknya belum mampu bekerjasama mengatur dan mengendalikan ormas di negara ini.

Perlu diulangi, banyak ormas yang memiliki cukup banyak anggota dan kemudian mengikuti jejak FPI, Pemuda Pancasila, atau laskar-laskar aneka rupa yang menghasilkan “sipil semi militer” dengan pelatihan dan alur komando yang juga semi militer.

Tidak mengherankan jika pada akhirnya mereka merasa kuat dan hebat, kemudian berkembang menjadi “pasukan kecil” untuk kepentingan kelompok, yang mampu melakukan kekerasan, mampu memaksakan kehendak, mulai dari lingkup kecil sampai besar.

Ormas-ormas ini nyata di masyarakat, ditakuti karena rekam jejak keberingasannya, menghasilkan uang dari berbagai hal, sementara tidak ada cengkeram hukum atas ormas-ormas ini. Kementerian dalam negeri mandul dalam hal ini, Kepolisian bahkan bisa ‘sowan’ ke pimpinan ormas, mengerikan.

Pak Jokowi sampai berujar khusus mengenai keberadaan ormas ini, dan meminta agar aparat menjaga martabat pemerintah, tidak ‘sowan’ ke kelompok-kelompok yang bermasalah. Aparat harus punya harga diri, masuk wilayah harus menunjukkan diri sebagai pengatur, alat pemerintah, bukan malah ‘sowan’.

Dari pernyataan ini, jelas sekali bahwa bahkan Presiden sudah tahu keberadaan ormas, dan paham bahwa kebanyakan ormas tersebut bermasalah. Lalu kenapa masih didiamkan…?

Tidak bernilaikah ucapan Presiden Jokowi bagi Kementrian Dalam Negeri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kemenkumham, Mahkamah Agung, dan Kementerian Agama…?

Sebagai bagian dari pemerintah, kementerian terkait harus mengambil langkah segera, harus ada gerakan sapu bersih ormas, bila perlu bentuk Satgas Ormas.

Harus dilakukan pendataan ulang, registrasi ulang, pemeriksaan AD/ART, kunjungi markas ormas, lihat kenyataannya, lalu berangus dan bubarkan semua yang bermasalah dan/atau menganut paham dan/atau bertendensi radikal. Jika tidak, maka ormas-ormas ini akan berada pada posisi target partai politik, tepatnya target “money politic”, dan akan jadi bencana untuk Indonesia ketika mereka “dibeli” oleh partai yang bernafas radikal untuk pemenangan 2024.

Pengumpulan dana untuk mensukseskan 2024 sebagai tahun kemenangan kaum radikalis sudah dibuktikan oleh Densus 88. Yang paling mengerikan adalah pendanaan MUI dengan menggunakan APBN dan APBD, yang sekarang keterkaitannya dengan terorisme sudah tidak terbantahkan. Bukan hanya itu, sumbangan ‘duafa’ sebagai kedok dinyatakan menghasilkan sampai Rp15 milyar per bulan. Itu dari 1 pengumpul, ada berapa pengumpul di Indonesia. Belum lagi aliran dana dari ormas yang mendapatkan dana dari iuran, sumbangan, dan ‘pengamanan’ wilayah. Belum lagi gelontoran dana hibah yang bisa dilakukan oleh Pemda atas nama otonomi daerah.

Banyak sudah yang memprediksikan kerasnya perhelatan 2024, demikian pula akan maraknya gangguan keamanan mulai dari tahun 2022 hingga 2024. Aksi terorisme pasti akan banyak terjadi, terlebih setelah orang-orang ‘besar’ ditangkapi. Ormas akan menjadi pilihan utama bagi jaringan terorisme untuk menjalankan aksi dan meraup suara. Jika tidak dihabisi sekarang, ormas akan menekan masyarakat di wilayah, terlebih ormas dengan jargon agama, dan ini membahayakan keberlangsungan Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berdasar Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Ambil langkah segera terhadap ormas-ormas yang ada sebelum terlambat dan dimanfaatkan sebagai alat kaum radikalis. Cegah sebelum berkembang, hentikan sebelum Indonesia menjadi korban.

-Roger Paulus Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here