Mengembalikan Arah Reformasi
KOLOM
OPINI
Sidarto Danusubroto
(Sebelumnya baca: Jalan Terjal Reformasi, Masa Depan Indonesia, dan Jas Merah)
Di antara 3 (tiga) kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), hubungan eksekutif dan legislatif merupakan faktor dominan dalam menentukan arah perjalanan negara. Dari kedua lembaga negara tersebut, legislatif yang paling banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Karena rakyat menaruh harapan sangat besar kepada legislatif untuk dapat memperjuangkan agenda reformasi, akan tetapi faktanya, ekspektasi masyarakat ini hanya mendapat sambutan pada masa awal reformasi.
Jika dibandingkan dengan parlemen pada era sebelumnya, DPR masa reformasi seharusnya dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik, karena didukung anggaran yang besar dan fasilitas yang banyak. Rapat-rapat dalam rangka pengawasan maupun pembahasan RUU seharusnya lebih substansif dan berkualitas, karena anggota DPR memiliki tenaga ahli yang dapat melakukan kajian dan analisis secara komprehensif terkait masalah yang dibahas.
Proses dan mekanisme rekrutmen anggota parlemen yang memiliki kapasitas dan kapabilitas, serta memiliki karakter dan moral yang kuat perlu diatur dengan lebih baik, sehingga anggota parlemen memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, dan menjalankan tugas tersebut secara benar dan konsisten untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pembangunan dan pendidikan politik bagi masyarakat juga harus terus digiatkan sehingga pemilih (voters) semakin paham akan arti “keterwakilan” (representation). Bagian ini adalah salah satu yang paling penting dan penuh tantangan karena masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia untuk dapat memahami demokrasi yang kompleks dalam unsur “keterwakilan”.
Pendidikan politik juga harus mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan, serta menghindari timbulnya politik identitas di tengah masyarakat, yang dapat membawa risiko yang lebih besar kepada keutuhan Negara Kesatuan.
Tanpa kita sadari, salah satu efek negatif dari reformasi adalah derasnya arus informasi dan euforia kebebasan yang membuka peluang berkembangnya Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme (IRT).
Tugas kita tidak mudah, karena propaganda yang dilakukan biasanya dikaitkan dengan ‘keyakinan/iman’. Namun demikian, kita harus memerangi intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang dapat dimulai dengan memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang Empat Pilar Kebangsaan, yaitu: Pancasila; UUD 1945; Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika kepada semua elemen bangsa. Pendidikan kebangsaan dan Pancasila sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara perlu dikumandangkan dan diwajibkan bagi generasi muda, agar memiliki arah dan pedoman hidup harmonis ditengah keberagaman.
Masa Depan Indonesia
Ketika mengakhiri masa jabatannya, seorang Presiden akan meninggalkan tugas sebagai kelanjutan Cita-cita Indonesia yang belum selesai dan harus dilanjutkan oleh Presiden berikutnya. Demikian juga halnya dengan Presiden Jokowi, akan meninggalkan tugas yang perlu diteruskan oleh Presiden yang menggantikannya, sehingga tercipta konsistensi dalam pembangunan bangsa yang berkelanjutan, dan cita-cita Indonesia Emas bisa tercapai dengan baik.
Perjalanan menuju Indonesia Emas sudah dimulai oleh Presiden Jokowi sejak tahun 2014, dengan terus membangun infrastruktur Indonesia dari Sabang sampai Merauke, baik pembangunan sarana dan prasarana maupun pemutakhiran platform digital, agar pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia secara merata. Proses ini terus berlanjut pada periode ke-2 dengan fokus pada 5 (lima) hal pokok, termasuk kelanjutan pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, Investasi, Reformasi Birokrasi dan penggunaan APBN yang tepat sasaran, bahkan di tengah terjadinya pandemi Covid-19 dan gejolak politik yang demikian dinamis.
Harus kita sepakati bersama bahwa cita-cita bangsa ke depan adalah komitmen untuk membangun Indonesia yang maju dan beradab dalam bingkai 4 pilar kebangsaan. Semangat ini harus terus dijaga untuk memberikan tulisan sejarah yang kelak indah di baca bagi generasi penerus Indonesia. Bahwa siapapun Presidennya, dan apapun pilihan partainya akan selalu memiliki komitmen bersama membangun Indonesia yang lebih baik.
Jangan Lupakan Sejarah
Jasmerah adalah sebutan Pidato Bung Karno pada tahun 1966 yang mengajak masyarakat Indonesia “jangan sekali-sekali melupakan sejarah”. Banyak hal yang patut disyukuri dan dipelajari dalam memahami sejarah bangsa agar kita lebih kuat dalam membangun bangsa di masa yang akan datang. Semua ucapan, tulisan, pemikiran, tindakan, keputusan, maupun kebijakan, yang saat ini kita lakukan, akan dibaca sebagai tulisan sejarah oleh generasi penerus bangsa. Era reformasi ini juga kiranya dapat mengoreksi dan memperbaiki arah reformasi ke depan yang lebih baik, agar kelak bisa dibaca kembali sebagai suatu sejarah yang membanggakan. Sejarah yang indah.
Sejarah ditulis dengan Indah, bagi yang bisa membacanya, memahaminya, dan mensyukurinya. Karena dalam setiap sejarah ada rencana Tuhan. Cerita sejarah akan dibaca dari depan ke belakang dan akan di tulis dari belakang ke depan. Kita harus bijak memaknai peran kita bersama pada era reformasi ini dalam menuliskan sejarah ke depan. Agar kelak dibaca sebagai sesuatu yang bermakna dan indah bagi masa depan Indonesia. Aamiin..
Sidarto Danusubroto, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, Seorang Ayah,
Kakek, Kakek Buyut. Pelaku dan Saksi Sejarah.
Baca OPINI sebelumnya di sini:
OPINI Sidarto Danusubroto: Jalan Terjal Reformasi, Masa Depan Indonesia, dan Jas Merah