Penulis: Dahono Prasetyo
Kadang saya dan sebagian kita dipaksa situasi untuk membela Jokowi. Persoalan Pandemi yang seharusnya bersama-sama menyelesaikan, justru berubah menjadi ajang saling berdebat.
Bukan begitu, harusnya begini. Itu salah, yang benar begini. Jangan seperti itu, pakai yang ini saja. Biarkan saja apa maunya, nanti juga nyungsep sendiri.
Beberapa debat kusir menjadikan seribu lawan kurang satu kawan kebanyakan.
Masalah bansos pandemi yang sudah disalurkan ke daerah, namun terlambat disampaikan kepada yang berhak, baru satu soal. Belum lagi distribusi vaksin.
Negara gagal menyatukan kata sepakat, bahwa Pandemi ini persoalan bersama. Oknum Pejabat bermain pragmatis di tengah resiko meledaknya kegelisahan rakyat.
Pernyataan Jokowi perihal himbauan sense of crisis menunjukkan keprihatinan yang tidak seharusnya terjadi. Perasaan krisis bersama di kelas para decision maker pada kenyataannya tidak terjadi. Pemerintah daerah bergerak bagai robot menunggu komando. Celakanya perintah sudah disampaikan, pelaksanaannya lumpuh tanpa sebab.
Ini bukan tentang ajakan sentimen negatif bagi pemangku kebijakan di daerah. Namun menjadi pertanyaan mendasar siapa saja kepala daerah yang paham krisis atau sekedar numpang hidup dari krisis.
Dana bansos, apapun kategorinya, benar-benar ditunggu masyarakat bukan untuk membeli gadget terbaru atau menambah depositonya. Tapi sekedar melegakan harapan bertahan hidupnya di tengah badai persoalan tidak sebatas pandemi.
Terlambat itu hal teknis yang bisa teratasi jika ada niat menyelesaikan. Tanpa inisiatif maka lahir kecurigaan bermacam versi. Hanya butuh sedikit kolusi dengan pihak perbankan untuk menahan pencairan demi mendapat selembar rupiah keuntungan bunga bank. Atau menunggu momentum politis menyerahkan bantuan? Tunggu rakyat serak berteriak dulu, maka saat bantuan tiba mereka dianggap pahlawan?!
“Bung, anda kan salah satu penerima bansos yang termasuk golongan tidak sial-sial amat kantongnya terdampak pandemi. Kenapa ngotot berharap bansos segera cair?” tanyaku..
“Saya sudah ada janji dengan beberapa warga, kalau jatah hak bansos turun, saya serahkan untuk mereka” jawabnya.
“Lha mereka tidak termasuk penerima bantuan?”
“Itulah amburadulnya data di lapangan. Tukang ambil sampah langganan perumahan saya tidak dapat, justru saya yang dapat.”
“Jadi hak anda diserahkan untuk mereka?” tanyaku.
“Iya, karena saya punya tanggungjawab memperpanjang harapan hidup mereka” balasnya.
Mengubah hak warga negara menjadi kewajiban individu, tidak setiap orang paham.
Begitulah musibah. Bisa mengubah yang bukan siapa-siapa menjadi pahlawan. Bersanding dengan pejabat yang dipercaya banyak orang, berubah jadi penjahat karena menahan hak orang lain.
Itulah alasan mengapa bangsa ini tidak pernah selesai menyatukan perbedaan.