Penulis: Erri Subakti
Gedung Tyuoo Sangi-in di Pejambon, Jakarta (kini masuk kompleks Kementerian Luar Negeri) pada tanggal 28 Mei 1945 dipenuhi 67 angota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Salah satunya nampak H. Agus Salim yang duduk di samping Oei Tjong Hauw, Ketua Partai Chung Hwa Hui, partai kaum peranakan Tionghoa.
Mereka yang berasal dari berbagai golongan bahu-membahu membentuk fondasi bagi negara yang akan dibentuk. Dasar negara harus bisa dirumuskan sebelum Indonesia merdeka.
Empat hari sudah sidang tersebut berlangsung membahas dasar negara dan batas-batas daerah. Belum ada titik temu untuk dasar negara.
Jumat, 1 Juni 1945, tepat pukul 9:00, sidang dimulai dengan doa. Kemudian Soekarno dipersilahkan mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara.
“… Saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak medirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? … Sudah tentu tidak!
Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan.
Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan.” (Risalah Sidang BPUPKI)
Setelah itu BPUPKI membentuk panitia 9 yang bertugas menyusun rancangan pembukaan Undang-undang Dasar.
Hasilnya, ditandatanganinya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Namun ada 7 kata yang menjadi kontroversi, yaitu: “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Agus Salim di situ tampil mengatakan dengan tegas, “Wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak ada Indonesia merdeka, biarpun tidak ada hukum dasar Indonesia. Itu adalah hak umat Islam yang dipegangnya….”