SintesaNews.com – Seorang ibu dengan 2 anak, dalam akun Twitternya @iimfahima menuliskan pengalamannya dalam mendidik anaknya yang kritis. Simak thread-nya.
Lagi di jalan, habis nemenin anak yang homeschooling maen paintball sama temen-temen. Saya mau cerita dikit pengalaman memilihkan anak sekolah. Investasi uang buat sekolah penting, tapi urusan anak, ada yang lebih penting, mendahului uang.
Sebagai catatan, ini bukan berarti yang saya share paling bener ya. Cuma sharing aja, kali-kali cocok strategy-nya. Hal paling rumit, lebih rumit dari ngurus perusahaan dan mungkin, lebih rumit dari ngurus negara, adalah: Ngurus anak!
Anak saya paling gede 12 tahun, SMP kelas 1. Homeschooling. Sebelumnya SD di kawasan kemang. Kelas 4 dia mulai bisa mengkritik kurikulum sekolah, metode guru mengajar dan betapa paginya sekolah di Indonesia harus mulai. Ngga make sense, katanya.
Kritiknya saat itu: Kenapa banyak pelajaran hapalan? Aku ga suka! Kenapa sekolah pagi banget? I need more sleep! I don’t like sitting down and listening to teachers! Boring. Kenapa sekolah bikin aturan without asking if students agree or not? Why only talking 2 parents?
Kelas 3 SD dia nulis surat ke kepala sekolah, how school should be. Versinya dia. Should be fun, masuknya siangan biar bobo-nya cukup, harus banyak diskusi dan kurangi omongan 1 arah dll. Make sense, kan? Tapi saat itu saya ga terlalu dengerin, karena ibunya belum pinter.
Sampe sekarang belum pinter juga sik. Cuman ya rada progress-lah.
Anyways, intinya dia menolak sistem sekolah yang ada. Padahal sekolahnya dia tuh sekolah modern, guru-gurunya yang juga open atas inputs. Teteuuup aja ga ketemu format yang dia suka.
Kelas 4, saya mulai konsultasi ke psikolog anak. Karena si anak ga mau ndengerin gurunya ngomong. Maeeeen aja adanya. Paling bikin gemes, pas ulangan ngerjain seenaknya. Kertas digambarin ini itu. Soal ga dijawab tuntas dll. Pas ditanya kok ulangan ga dijawab tuntas kenapa?
Dengan santai dia bilang gini lho: I was busy mom. Busy apaan? Kan lagi ulangan? Tanya saya dan guru-guru. Busy thinking of Liam Neeson, jawabnya. Ampun kan! Ulangan kok malah mikirin Liam Neeson.
Intinya, dia mau menunjukkan pemberontakan atas sistem, dengan caranya. I went to psikolog anak. Oleh psikolog, strategy pendekatan diubah: karena anak sudah paham big picture, jadi ditarik ke small picture. Misal: soal mengabaikan guru.
Anak harus ditanya. Kalau kamu bicara dan ngga didengerin, apa perasaanmu? Kira-kira gitulah tips dari psikolog. Saya terapkan dong. Saya tanya: kalau kamu ga mau dengerin guru, bayangkan kalau kamu bicara dan guru ga mau dengerin kamu. Gimana perasaanmu?
Dengan santai, anak kelas 4 SD itu jawab gini: Kalo aku ngomong dan ga didengerin, artinya omonganku ga menarik. Aku harus koreksi dan cari cara supaya omonganku di denger. DHUAR!!! Ibunya puyeng mau jawab apa.
Masa kelas 3-4-5 adalah masa saya sering ke sekolah, nangis-nangis di ruang guru karena bingung musti gimana sama si unyil satu ini. Dia bener-bener memberontak pada sistem. Datang sekolah telat tiap hari, pe-er ga dikerjakan, ga mau belajar, ulangan ga pernah serius, etc.
Berbagai hukuman dari baris di lapangan sampai disuruh ngepel lapangan sudah dikasi, cueeeek aja anaknya. Adaaa aja alasan buat melihat hukuman sebagai something easy. Hukuman baris? Enak ga masuk kelas. Ngepel? Enak maen aer. Ga bole masuk kelas? Enak bisa bolos. Etc.
Kelas 5, saya mulai maen otoriter. Harus nilai 9-10. Ga trima nilai 8. Kan udah mau UN kelas 6 nanti, saya ga mau dia ketinggalan. Bener-bener saya paksa. Bisa sih. Nilainya 9-10 semua karena basically si unyil ini anaknya cerdas cuman dia ga mau belajar aja selama ini.
Ada satu titik, nilainya 8. Saya marah. Saya bilang, nilaimu 8 lagi, ibuk ambil hapenya, ga usah punya hape! Tanpa ekspresi, dia kasih hapenya ke saya. Take this, mom. I am tired. JLEB. Saat itu saya ngliat matanya yang sedih. Saya baru ngeh anakku stress.
Segera saya singkirkan hapenya dan saya peluk erat. Kakak capek ya? Kakak stress? Iya, aku capek melakukan sesuatu yg aku ngga suka, mom. I just want to make you happy. Ibunya nangis. Anaknya juga nangis. Kami tangisan bareng sambil pelukan.
OK, sekarang gini kak, kita fokusnya diganti ya, yang penting kakak lulus aja ya? Ga usah dipikirin harus sekolah di mana, yang penting ntar kelas 6 lulus, OK? Kata saya sambil terus memeluknya erat. Si Kakak mengangguk, masih lemes, tapi keliatan wajahnya lega.
Sejak saat itu, saya ga ada tuntutan akademis sama sekali. Yang penting dia happy. Masuk sekolah telat mulu biarin. I follow her rhythm. Sambil tiap malam tahajud, nangis minta pentunjuk harus gimana mengurus si Kakak. Minta petunjuk sekolah yang terbaik, untuk dunianya, akhiratnya.
Paralel saya riset sekolah, dari yang kurikulum IB, Cambridge, Nasional, gabungan, dll. Ketemu sejumlah pakar pendidikan anak juga. Ikhtiar fisik lah. Spiritual dan fisik, semua jalan. Tapi ikhtiar spiritual mendahului ikhitiar fisik. Hingga suatu titik.
… Ada teman cerita soal home-schooling. Singkat cerita, saya riset lagi. Banyak hal. Hasil riset saya share ke si Kakak, saya minta dia yang putuskan sekolah apa yang dia mau. Si Kakak akhirnya pilih homeschooling. Biar bisa fokus ke minatnya, olahraga dan musik.
She is now happy dengan pilihannya meski kadang-kadang bosen. Biasalah. Si kakak suka wushu. Beberapa bulan lalu menang 3 gold di Singapore. Juga suka musik, dapet dari bapaknya. Most importantly, di rumah dia punya lawan diskusi yang sepadan, bapak ibunya.
Si Kakak terbiasa lingkungan yang demokratis dan kritis. Ngga basa basi. Kami biasa diskusi tentang seks, narkoba, spiritualisme, politik dll. dengan enteng di meja makan atau sebelum tidur. Kedalaman diskusi ini yang dia ga dapatkan dengan mudah di sekolah biasa. Why?
- Guru-guru belum tentu punya ilmunya
- Kultur Indonesia yang harus pakai sopan santun dalam diskusi, kaget dengan pertanyaan-pertanyaan kritis
- Kita ngga biasa terbuka dengan topik yang sensitif
- Guru harus ngurus banyak anak, waktu dan tenaganya ga cuma buat fokus ke anak saya aja.
Lalu apa kaitannya story saya dengan “ada investasi yang lebih penting sebelum bicara investasi uang?” … yaitu investasi mindfulness orang tua. Orang tua yang tenang, ngga gelisah, paham apa yang harus dilakukan, paham kebutuhan anak. Ini investasi mahal dan terpenting!
Menjadi ortu yang punya mindfulness yang baik, sepengetahuan saya, harus dimulai dengan pemahaman diri sendiri. Memahami diri sendiri ini, adalah journey yang panjang. Kita ngga bisa mengarahkan anak saat our feet don’t stand firmly on the ground.
Kita ngga bisa mengarahkan anak, saat jiwa kita sendiri guncang, berantakan, lelah, tidak tenang, tidak firm. Ini bagian terberat jadi orangtua. At least itulah yang saya pahami, sependek pengalaman saya jadi ibu 2 anak.
Buat yang sekarang lagi nabung uang buat sekolah anak, jangan lupa nabung kesehatan jiwa, kesehatan spiritual. Uang tidak akan menyelesaikan urusan pendidikan anakmu, malah bisa menjerumuskan kalau ternyata salah milih lingkungan. Ngga semua sekolah mahal means sekolah bagus.
Begicyuuuu. End.
Btw, ini bukan berarti saya bilang homeschooling paling bener ya. Tergantung kebutuhan anaknya. Homeschooling itu PR besar buat ortu. Ngga hanya butuh uang lebih, tp juga ilmu dan kehadiran ortu yang total. Tanpa 3 itu, ga jalan.
***
Dituliskan dalam sebuah thread di akun Twitter Iim Fahima Jahcja @iimfahima.