Penulis: Nurul Azizah
#Catatan Ziarah Makam Simbah Buyut Daleman Abdurrahman dan Simbah KH. Hasan Anwar Gubug Grobogan.
Saat liburan Idulfitri 1443 H yang lalu, tepatnya tanggal 2 Syawal 1443 H atau Hari Selasa (3/5/2022) penulis pulang ke kampung halaman di suatu desa di Kecamatan Gubug Grobogan.
Setelah sungkeman ke sanak famili, penulis menyempatkan diri berziarah ke makam alm. bapak dan ibu penulis, yang berada dekat komplek makam simbah buyut Daleman Abdurrahman.
Perasaan bahagia menyelimuti hati penulis, manakala bangunan di mana simbah buyut Abdurrahman beserta istrinya dimakamkan dalam keadaan terbuka. Bisa masuk ke makam beliau adalah suatu kebanggaan tersendiri, karena makam simbah buyut Abdurrahman pepunden kami memiliki aura waliyullah.
Biasanya kalau penulis mau masuk ke makam simbah Abdurrahman harus menghubungi juru kunci dahulu.
Tapi kali ini tidak, makam sudah terbuka, saat itu sore dan sepi. Mungkin warga sudah berziarah di pagi hari.
Setiap memasuki area makam, penulis selalu uluk salam, “Assalamualaikum ya ahli kubur, fa Insya Allah suatu saat nanti saya menyusul.”
Ketika masuk ke dalam makam Simbah buyut Abdurrahman seperti ada energi yang menarik untuk mendekat ke cungkupnya simbah buyut. Penulis dengan seksama membacakan tahlil, saat mata terpejam kayak ada bayangan yang melintas menghampiri penulis.
Ketika penulis tanyakan ke juru kuncinya, pak Nawawi beliau menjawab, simbah buyut merestui perjuangan panjenengan selama ini.
Penulis tidak pernah cerita kalau penulis ikut nguri-nguri NU, kayaknya juru kunci yang kenal dengan penulis tahu persis perjuanganku selama ini.
Beliau berkata, “Simbah buyut Abdurrahman senang ketika didatangi buyut-buyutnya. Perjuangan sampeyan menjaga NU dan negeri ini direstui mbak, lanjutkan saja, pasti dapat restu dari leluhur desa ini, leluhur panjenengan dan kami semua.”
Makam simbah buyut Abdurrahman walau letaknya di desa, tapi karomahnya gedhe banget, penulis dapat merasakan energi-energi positif ketika dekat dengan makam tersebut.
Simbah buyut Abdurrahman yang berada di desa kelahiran penulis adalah keturunan Dalem Keraton Surakarta (Solo). Beliau dengan istrinya adalah ulama besar Kesultanan Surakarta yang menyamar sebagai orang biasa.
Simbah Abdurrahman bersama istrinya berkelana, kemudian mendirikan gubuk kecil di tepi sungai Tuntang tidak jauh dari makamnya yang sekarang ini. Beliau berdua beserta keturunannya menyebarkan agama Islam di sekitar tempat tinggalnya. Tempat beliau mendirikan masjid dinamakan desa Gubug Solo, ini menurut penuturan Pak Nawawi juru kunci makam tersebut.
Mengapa simbah buyut Abdurrahman bermukim dekat dengan sungai besar yang sering banjir? Karena beliau sebagai tameng pertama yang tahu jika ada sesuatu bahaya yang akan datang ke warga seperti banjir bandang atau bahaya lain.
Bukan hanya di dekat sungai, para waliyullah terkadang bertempat tinggal di puncak-puncak gunung, tujuannya sama sebagai tameng pertama jika ada bencana yang akan datang.
Ketika simbah buyut Abdurrahman dan istri wafat, masjid di dekat sungai masih berdiri kokoh. Karena sering banjir, masjid yang di dekat sungai di pindah agak jauh ke dekat jalan raya. Tetapi masih satu jalur dengan makam. Masjid itu sekarang di namakan Masjid Fuaza’ Kemiri.
Masjid yang dibangun tahun 1900 kategori masjid umum, masjid yang memiliki luas tanah 375m2, luas bangunan 875 m2 dengan status tanah wakaf.
Yang penulis selalu ingat, makam simbah Abdurrahman penuh dengan aura orang suci, aura waliyullah. Beliau menyebarkan Islam sebelum wali songo ada di tanah Jawa. Islam kejawen yang belum mengenal Islam dari Arab, Gujarat dan Persia.
Persis di depan makam simbah buyut Abdurrahman ada makam kakek dan guru penulis. Kakek H. Abdul Hamid dikenal sebagai kepala desa yang adil dan bijaksana, sedangkan di sampingnya adalah guru ngaji dan ulama besar bernama KH. Ali Munawar yang sangat kharismatik penuh wibawa.
Waktu menunjukkan jam lima sore, penulis lanjut berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Mahfudhon Hasan Anwar Gubug. Ponpes ini dipimpin oleh kakak kandung penulis, yang hafiz qur’an. Ibu Nyai Asturiyah Al-Hafidz, beliau memimpin ponpes tersebut setelah suaminya meninggal dunia, dan diteruskan oleh Putra menantunya Kiai Saifuddin alumni dari Pondok Sarang Rembang santri dalem simbah Maimun Zubair.
Setelah berbincang-bincang sejenak dengan ibu Nyai Asturiyah penulis mengutarakan untuk ziarah ke makam simbah Hasan Anwar yang berada di lingkungan ponpes tersebut, jadi kakak penulis menikah dengan cucunya simbah Hasan Anwar, seorang pejuang kemerdekaan pada saat Gubug dan sekitarnya dikuasai oleh Belanda.
Menurut penuturan mbak Asturiyah (panggilan akrab), Mbah Hasan Anwar aslinya dari Kecamatan Godong Grobogan, berjuang melawan penjajah Belanda sampai ke daerah markas Belanda di Gubug. Markas Belanda di Gubug sekarang ditempati sebagai kantor pegadaian.
Sesampai di markas Belanda, simbah Hasan Anwar berhasil menghabisi pasukan Belanda yang berjumlah sekitar 200 personel. Ketika simbah Hasan Anwar menelpon ke teman untuk meminta bantuan, malah salah alamat. Nomor yang dihubungi ternyata nomornya Belanda. Akhirnya simbah Hasan Anwar dibunuh oleh pasukan Belanda di pegadaian tersebut. Mengetahui banyak pasukan Belanda yang meninggal, Belanda sangat marah sekali dan warga tidak berani mengambil jenazah simbah Hasan Anwar.
Setelah kemarahan Belanda mereda, kepala desa dan pejabat lainnya memakamkan simbah Hasan Anwar di sekitar pegadaian.
Oleh keluarga, makam simbah Hasan Anwar dipindah ke komplek Masjid dan Ponpes Al-Mafudhon Hasan Anwar Gubug Grobogan. Ketika makam simbah Hasan Anwar dipindah, jasatnya masih utuh, subkhanallah.
Sementara di daerah pegadaian yang dekat jalan raya Purwodadi Semarang dinamakan Jl. Pahlawan Hasan Anwar Gubug.
Makam beliau berada di area masjid Hasan Anwar Gubug Grobogan satu komplek dengan Ponpes Al-Mafudhon Hasan Anwar.
Masjid Hasan Anwar dibangun pada tahun 1940. Luas tanah 320 m2 dan luas bangunan 1.100m2.
Penulis diizinkan masuk ke makam dan didampingi mbak Asturiyah.
Cerita dari pengalaman penulis berkunjung ke dua makam punden leluhur, akan penulis jadikan tulisan, sambil minta info sejarah perjuangan simbah KH. Hasan Anwar Gubug ke narasumber, yaitu salah satu cucu beliau Habib Auhad Solo.
Habib Auhad putera dari ibu Romlah. Ibu Romlah adalah puteri dari Simbah KH. Hasan Anwar yang menikah dengan seorang Habib.
Ketika penulis menghubungi Habib Auhad, beliau mau diwawancarai saat bertemu secara langsung, tidak berkenan lewat WhatsApp.
Karena beliau, cucu yang masih hidup dan tahu persis sejarah perjuangan simbah Hasan Anwar.
Kebetulan suami mbak Asturiyah, Kiai Fathurroji cucunya simbah Hasan Anwar dari bapak Mafudhon sudah meninggal sebab sakit.
Simbah Mafudhon juga putra KH. Hasan Anwar pejuang kemerdekaan melawan penjajah Belanda.
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU di Sarang Wahabi,” minat hub. penulis atau SintesaNews.com 0858-1022-0132.